Gereja ini bahkan telah diinventarisasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali pada tahun 2021.
Berdiri di lahan seluas 3 hektar Gereja HKY Palasari, merupakan salah satu peninggalan kolonial yang masih dapat dilihat sampai sekarang.
Arsitektur bangunan gereja ini seperti pada umumnya bangunan kolonial lain sekitar abad XIX-XX, memiliki arsitektur yang terkesan megah, dan memiliki ornamen bergaya Eropa.
Berdasarkan catatan, Gereja HKY Palasari merupakan salah satu gereja tertua di Bali, khususnya Bali bagian barat. Pembangunan dimulai sebelum kemerdekaan RI, tepatnya tahun 1936.
Pada awalnya, Paroki Hati Kudus Yesus dirintis oleh Pastor Simon Buis, SDV, adalah seorang warga keturunan Belanda. Kemudian pada tahun 1940 dan 24 umat yang berasal dari daerah Tuka, Denpasar, dan Beringkit diberi sebidang tanah oleh Raja Jembrana untuk bermukim dan mengajarkan ajaran Katolik.
Dari jumlah umat 24 tersebut, yang bertahan hanya 18 orang, sisanya kembali ke Denpasar.
Pada tahun 1947 posisi gereja yang pertama dipindahkan ke arah utara sekitar 1 kilometer tepat di lokasi gereja sekarang berdiri.
Pembangunan gereja secara permanen dimulai pada tahun 1955 yang dirancang oleh arsitek berkebangsaan Belanda bernama Bruger Ign. AMD Vrieze, SVD dan diresmikan oleh Mgr. Albers,O.carm, seorang uskup dari Malang pada tahun 1958.
Kehidupan sosial budaya di paroki gereja HKY Palasari juga menarik.
Secara letak geografis, berada di Desa Ekasari yang dominan umat Hindu, namun selama ini kerukunan selalu terjaga.
"Sampai saat ini hidup rukun dan harmonis, tidak pernah ada permasalahan," kata Dewan Pastoral Paroki (DPP) Gereja HKY Palasari I Nyoman Sugiri, saat ditemui di halaman gereja, Sabtu (16/4/2022).
Tidak hanya umat Hindu, ada juga umat Muslim yang dekat dengan bendungan Palasari. Bahkan paroki HKY Palasari pernah membuat kegiatan sosial dengan memberikan bingkisan untuk umat lain yang tidak mampu.
"Semoga kerukunan dan keamanan tetap terjaga. Kami kedepannya masih ingin berbagai bersama saudara saudara antar agama," ucapnya.
Selain penggunaan bahasa Bali. Adat dan budaya yang kental di Paroki juga sama seperti Krama Bali pada umumnya. Seperti, penggunaan nama asli Bali.
"Nama nama yang kami gunakan tetap diawali dengan nama Bali. Seperti saya sendiri, saya I Nyoman Sugiri," ungkapnya.
Hal unik yang masih dipergunakan sampai saat ini, dimana setiap hari raya, seluruh umat baik anak kecil, remaja, dewasa maupun orang tua semua memakai pakaian adat Bali.
"Karena kami memang orang Bali, leluhur kami orang Bali. Kami mempertahan adat Bali tersebut sampai saat ini," ungkapnya.
Hanya di Paroki juga menggunakan nama para santo di awal namanya. Seperti namanya Iligius I Nyoman Sugiri, masih tetap digunakan.
"Jadi itu uniknya. Beda dengan paroki lain. Kami masih kental dengan adat Bali," terangnya.
Seperti contoh, bahasa Bali, kemudian secara tradisi perayaan hari raya tetap menggunakan penjor, dalam arti secara umum. Di dalam gereja juga menggunakan masih menggunakan Gebogan, dimana makna dan tujuan tersebut untuk bisa selalu ajeg. Setiap Sabtu Paskah juga, para Krama juga menggunakan pakaian adat Bali.
"Itu pesan penglingsir (Leluhur) kami," tukasnya.
(kws/kws)