Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat pertumbuhan ekonomi NTB pada Triwulan I 2025 mengalami kontraksi. Secara kuartalan (q-to-q), ekonomi NTB turun 2,32 persen, sementara secara tahunan (y-on-y) turun 1,47 persen.
Kepala BPS NTB Wahyudin menjelaskan, kontraksi ini disebabkan belum terealisasinya sebagian besar anggaran proyek APBD 2025, baik APBD I maupun APBD II, serta tidak adanya aktivitas ekspor tambang selama periode tersebut.
"Kita maklumi bersama, bahwa di Triwulan I tahun 2025 itu belum banyak realisasi anggaran untuk proyek APBD 1 maupun APBD 2. Ini sebagian penyebab dari turunnya angka pertumbuhan ekonomi kita. Di samping itu pengaruh tambang, dimana tidak ada ekspor tambang, terakhir di bulan November, di triwulan ini belum ada," kata Wahyudin saat merilis data pertumbuhan ekonomi di kantornya, Senin (5/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyudin mengatakan, sektor pertambangan memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian NTB. Namun, pada Triwulan I 2025, sektor ini mengalami kontraksi tajam hingga lebih dari 30 persen karena tidak ada ekspor tambang.
"Tambang ini punya share yang cukup besar, karena sebelumnya share-nya 20 persen," ujarnya.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi NTB tercatat minus 1,47 persen (y-on-y) dan minus 2,32 persen (q-to-q) pada triwulan ini. Data BPS mencatat, nilai ekspor luar negeri NTB hanya sebesar US$ 17,45 juta pada Triwulan I 2025, turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 573,33 juta.
Meski demikian, Wahyudin menyebutkan masih ada sektor yang menunjukkan perbaikan, yakni pertanian dan perdagangan. Kedua sektor ini membantu menahan laju kontraksi agar tidak lebih dalam secara tahunan.
Ia menambahkan, bila tidak memasukkan sektor tambang, ekonomi NTB justru mengalami pertumbuhan sebesar 0,95 persen secara kuartalan (q-to-q) dan tumbuh 5,57 persen secara tahunan (y-on-y).
"Dibandingkan dengan Triwulan I 2024 secara year on year, itu kita naiknya 5,57 persen. Karena tambang kita memiliki share yang besar dan mengalami kontraksi yang cukup tinggi, itu menyebabkan kita mengalami kenaikan 5,57 persen ketika tanpa tambang secara tahunan," tandasnya.
(dpw/dpw)