Serikat Pekerja Nasional (SPN) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengampanyekan untuk berbelanja di warung kecil. Kampanye itu dilakukan imbas kebijakan pemerintah yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025.
"Kami juga mengampanyekan untuk berbelanja di warung-warung kecil. Sedang kami kampanyekan lewat medsos supaya masyarakat mulai belanja di warung biasa terdekat," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) SPN NTB, Lalu Wira Bakti, di Mataram, Rabu (20/11/2024).
Wira menilai kenaikan PPN akan berpengaruh pada daya beli masyarakat, begitu juga pekerja. Di sisi lain, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) masih tertunda hingga saat ini. Jika PPN naik dan UMP tidak dinaikkan, maka daya beli berpotensi jadi lebih lemah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PPN naik, sementara upah belum naik, maka ngeri juga ini," ujar Wira.
Menurut Wira, jika PPN ini dinaikkan pada Januari 2025 mendatang, maka harus diimbangi dengan menaikkan gaji. Jika tidak, ada banyak dampak negatif yang akan bermunculan. Salah satunya, seperti munculnya banyak produk ilegal.
"Karena masyarakat pasti akan memilih yang murah. Terlalu dini Kementerian Keuangan memberlakukan menaikkan PPN, sementara upah saja belum jelas," ucap Wira.
Oleh sebab itu, DPD SPN NTB turut mengampanyekan agar masyarakat mengubah pola belanjanya. Mereka mendorong agar semua buruh berbelanja di warung-warung kecil hingga pasar tradisional.
"Rilis dari KSPN (Konfederasi Serikat Pekerja Nasional) sudah ada," imbuhnya.
Dalam hal ini, pihaknya juga mengajak masyarakat yang biasanya berbelanja di pusat perbelanjaan dan lainnya, untuk beralih ke usaha-usaha kecil dan menengah.
"Tapi itu tergantung ego masyarakat. Kalau saya secara pribadi lebih (memilih) memberdayakan warung kecil karena lebih asyik dan buruh terbiasa dengan itu," ungkap Wira.
Sebelumnya, Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) NTB, Anas Amrullah, mengatakan telah meminta Kadin pusat untuk melakukan pendekatan ke pemerintah terkait kenaikan PPN tersebut. "Karena kalau kita lihat kondisi (ekonomi) belum recovery," katanya kepada detikBali.
Menurut Anas, kenaikan PPN 12 persen pada awal 2025 dinilai akan memberi dampak pada berbagai pihak. Tidak hanya pengusaha, masyarakat akan menjadi pihak paling merasakan dampak kenaikan tersebut nantinya.
"Pasti akan berdampak pada daya beli masyarakat, bisa lesu kalau harga naik, orang kan tidak mau beli (belanja)," jelas Anas.
Kenaikan PPN 12 persen ini dinilai Anas belum tepat untuk diterapkan di tahun depan. Sebab itu, pihaknya meminta agar keputusan Kemenkeu tersebut ditinjau ulang.
"Dihitung dahululah, kita pikirkan dampaknya dahulu, dampak dari kenaikan PPN 12 persen ini," pintanya.
Diketahui, ada sejumlah barang yang akan dikenakan PPN pada 1 januari 2025 mendatang, diantaranya, barang elektronik seperti televisi, kulkas hingga smartphone. Lalu disusul pakaian, barang-barang fashion, tas, sepatu, kosmetik, tanah, bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan yang diproduksi, kendaraan bermotor hingga pulsa telekomunikasi.
(hsa/gsp)