Tubuh Echa Laksmi meliuk-liuk lentur bak karet elastis. Jemarinya yang lentik bergetar-getar ketika tangan dan kakinya mengikuti irama musik. Matanya yang bulat seperti bola pingpong membuatnya sangat menghayati ketika menari.
Senyum tak henti-henti mengembang di wajah perempuan berusia 29 tahun itu. Sesekali Echa Laksmi memperagakan gerak tari Bali tradisional. Pada lain kesempatan, ia menunjukkan gerak-gerak modern dance. Kepiawaiannya menari membuat Echa Laksmi menghasilkan cuan mencapai tiga digit per bulan dari konten di media sosial (medsos).
Baca juga: Cuan Bartender Nustri dari Media Sosial |
"Kadang juga paling dikit tuh dua digit," kata Echa Laksmi saat menceritakan penghasilannya dari medsos kepada detikBali, Senin (30/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menari seperti sudah menjadi jalan hidup bagi Echa Laksmi. Perempuan bernama lengkap Ni Putu Eka Laksmi Dewi itu belajar menari Bali sejak usia 15 tahun. Ia mengaku awalnya belajar karena terpaksa.
Suatu hari, Echa Laksmi tersentak saat ayahnya yang juga seorang penari menasihatinya bahwa orang Bali harus bisa menari. Bahkan, sang ayah berkeinginan agar Echa meneruskan sanggar tari yang dirintisnya.
"Dulu bapak ingin supaya saya bisa melanjutkan sanggar itu. Saat umur enam tahun, saya nggak mau belajar. Akhirnya luluh di umur 15 tahun dan saya mulai memaksakan diri untuk berlatih menari hingga bisa," kenang Echa Laksmi.
Lambat laun, menari ternyata mengasyikkan juga baginya. Lulus SMA, Echa Laksmi memutuskan melanjutkan kuliah di jurusan seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Setelah menyandang gelar sarjana seni tari, Echa Laksmi sempat menjadi pekerja kantoran. Untuk menambah penghasilan, Echa Laksmi tetap menari dari panggung ke panggung di sela-sela pekerjaannya itu.
Namun, pagebluk COVID-19 tiba-tiba melanda Bali pada awal 2020. Industri pariwisata tiarap. Echa Laksmi pun kehilangan panggung untuk menari.
Sebagai seorang seniman, pandemi telah mengajarkan Echa Laksmi untuk tetap kreatif dalam berbagai kondisi. Saat itu, ia lebih banyak beraktivitas di rumah karena kantor tempatnya bekerja memperbolehkan work from home (WFH). Dari sanalah Echa Laksmi mencoba-coba membikin konten tari sembari menyalurkan hobi.
"Karena punya hobi menari dan kebetulan juga lulusan tari yang pada saat pandemi kehilangan panggung, akhirnya saya memutuskan untuk belajar membuat konten di medsos, belajar ngedit, dan menjadikan sosmed sebagai panggung untuk berekspresi," imbuh pemilik akun Instagram @echalaksmi itu.
Tak dinyana, konten-konten menari yang diunggah Echa Laksmi mendapat respons positif dari warganet. Jumlah pengikutnya di media sosial juga merangkak naik. Kini, Echa Laksmi memiliki 1,1 juta pengikut di TikTok dan 368 ribu subscriber di Youtube.
Echa akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan utamanya pada 2021. Ia mulai fokus menjadi kreator konten dan mengembangkan akun media sosialnya. Belakangan, Echa Laksmi kerap berkolaborasi membuat konten bersama suaminya, Dewa Memet, yang juga seorang penari. Ia berinovasi mengangkat drama keluarga dengan warna komedi.
"Sebetulnya kan saya sudah berkeluarga, jadi saya merasa ada banyak drama keluarga yang kayaknya lucu kalau dibikin konten. Karena kalau nari, terus itu kan kesannya formal dan serius. Jadi, sekarang aku maunya kasih sedikit warna komedi di konten bareng keluarga," urai Echa Laksmi.
Cuan dari Endorsemen
Echa Laksmi tidak pernah berpikir bahwa kontennya di medsos bisa mendatangkan cuan. Awalnya, ia juga tidak mengerti sistem endorsemen. Ia pun sempat bingung ketika calon klien menanyakan rate card. Rate card adalah hal yang kerap ditanyakan suatu brand sebelum menjalani kerja sama dengan seorang pemengaruh atau influencer.
Karena ketidaktahuannya itu, Echa Laksmi sempat mempromosikan produk online shop milik orang lain secara cuma-cuma alias gratis melalui akun media sosialnya. "Awalnya nggak ngerti endorse itu apa. Terus, orang-orang pada nanyain rate card yang nggak saya tahu buat apa," tutur Echa Laksmi.
"Saking seringnya orang nanya rate card itu, jadi saya belajar dan akhirnya dari situ mulai membuat rate card. Sampai sekarang, ya sudah lumayan pahamlah. Jadi sering berkolaborasi dengan beberapa brand," sambungnya.
Echa mematok harga minimal Rp 1,5 juta untuk satu konten video yang dibuatnya. Meski tidak menyebut nominalnya secara rinci, dia mengaku bisa meraup cuan mencapai ratusan juta rupiah dari endorsemen produk kosmetik, pakaian, hingga kuliner.
"Nggak nentu juga sih, tergantung endorse apa. Ya, bisa sampai hampir tiga digit," pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh Anastasya Evlynda Berek peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/gsp)