Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali meminta Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan secara Nominee mengatur secara jelas pemberian insentif dan disinsentif.
Permintaan tersebut disampaikan Anggota DPRD Bali Fraksi Golkar, I Nyoman Wirya, saat Rapat Paripurna DPRD Bali di Kantor Gubernur Bali, Senin (15/1/2025).
"Dalam raperda ini agar mengatur lebih jelas terkait pemberian insentif dan disinsentif serta menambahkan skema penyewaan lahan produktif, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dalam raperda ini," kata Wirya.
Selain itu, Wirya juga mempertanyakan pembinaan dan pengawasan Gubernur Bali Wayan Koster dalam pengendalian alih fungsi lahan dan praktik nominee. Menurut pengamatannya, telah terjadi pelanggaran yang terstruktur, masif, dan sistematis terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali, khususnya dalam pengembangan industri pariwisata.
"Termasuk praktik nominee yang seringkali digunakan untuk menghindari pajak dengan menyamarkan kepemilikan aset agar tidak terdeteksi oleh otoritas pajak," bebernya.
Wirya pun menyarankan Pemerintah Provinsi Bali berkoordinasi dengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait perizinan Penanaman Modal Asing (PMA) berisiko rendah agar pengelolaannya dilakukan oleh Pemprov Bali.
"Hal ini bertujuan untuk kontrol investasi yang lebih baik dan menghindari tumpang tindih wewenang, sehingga Pemerintah Provinsi Bali bisa mengontrol laju investasi di Bali," tutur Wirya.
Pertanyakan Makna Larangan Nominee
DPRD Bali juga mempertanyakan pemaknaan judul Raperda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan secara Nominee.
Anggota Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali, Grace Anastasia Surya Widjaja, mempertanyakan apakah raperda tersebut hanya berlaku terhadap alih fungsi lahan produktif atau memiliki cakupan yang lebih luas.
"Bagaimana jika nominee itu terjadi, namun tidak melibatkan unsur asing atau dilakukan sesama WNI, apakah perbuatan tersebut tidak dilarang atau sah secara hukum?" ujar Grace saat menyampaikan pandangan umum fraksi dalam Rapat Paripurna DPRD Bali di Kantor Gubernur Bali, Senin (15/12/2025).
Grace menilai perbedaan perlakuan tersebut berpotensi menimbulkan sikap diskriminatif yang bertentangan dengan asas hukum pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ia juga menyoroti penyusunan raperda yang dinilai tidak konsisten, khususnya dalam penggunaan istilah "Pemilikan", "Pengalihan", dan "Penguasaan".
"Semoga ini bukan pertanda para penyusunnya sedang mengalami kegamangan dalam melakukan kajian karena pilihan dan konsistensi penggunaan istilah secara tepat adalah karakter seorang penulis yang mengedepankan obyektifitas dan kejujuran sesuai kapasitas keilmuan yang diembannya," tutur Grace.
Grace menambahkan, dalam naskah akademik disebutkan praktik nominee menunjukkan adanya kekosongan hukum. Ia mempertanyakan anggapan tersebut.
Pasalnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 mengatur pengampunan pajak melalui surat pengakuan nominee. Surat tersebut dibutuhkan ketika dokumen kepemilikan harta tambahan yang dilaporkan masih atas nama pihak lain.
"Pengertian harta tambahan ini dapat berupa saham, tabungan, mobil, tanah, kapal, bangunan dan lain sebagainya. Tindakan ini perlu dilakukan ketika akan melaporkan harta tetapi dokumen pendukungnya masih atas nama pihak lain atau nominee. Ini berarti nominee tidak selalu merupakan perbuatan yang dilarang," jelas Grace.
Oleh karena itu, ia meminta pendalaman dan kajian lebih lanjut agar raperda tersebut selaras dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
"Raperda tentang larangan nominee tidak hanya terjadi di Bali, jika substansi raperda ini ingin diperdalam bisa melakukan studi komparatif di negara lain misalnya Singapura dan Thailand yang sudah sejak lama memiliki regulasi yang mengatur larangan praktik nominee," tandasnya.
Simak Video "Video: Bahas Banjir Jabar, Pengamat Sebut Pengawasan Alih Fungsi Lahan Tak Berjalan"
(dpw/dpw)