Aneka buah, jajanan, dan berbagai penganan lainnya melengkapi meja berhiaskan bunga-bunga dan pernak-pernik serba merah di salah satu rumah di Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung, Bali, Selasa (28/1/2025) sore. Itu pertanda persembahyangan terhadap para leluhur dimulai.
Suasana khas perayaan Imlek semakin kental dengan aroma bau dupa, lilin merah, dan hio. Dua buah tebu yang diikat dengan kain merah di depan masing-masing rumah, serta lampion dan gegantungan berbagai ukuran turut menghiasi tiap sudut rumah.
![]() |
Warga Bali keturunan Tionghoa di Carangsari menyambut suka-cita perayaan itu. Mereka berkumpul untuk bersama-sama memanjatkan doa di depan halaman rumah. Setelah selesai, warga sembahyang ke kelenteng yang ada di rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persembahyangan terhadap leluhur adalah tradisi wajib yang digelar sehari sebelum puncak perayaan Tahun Baru Imlek yang jatuh pada Rabu (29/1/2025). Hal itu dikatakan tokoh warga Tionghoa di Carangsari yang juga ketua perkumpulan warga bernama Sari Semadhi, I Nyoman Purna.
"Dalam memaknai kehidupan, kami percayai leluhur sebagai penuntun hidup. Ini bentuk penghormatan. Kami meminta kebaikan, dan keselamatan dari leluhur dalam menutup tahun atau menyongsong tahun baru," tutur Purna di Carangsari, Selasa (28/1/2025).
Ia yang dikenal dengan nama Tan Gwan Bie, menuturkan, warga keturunan Tionghoa di desanya masih menjunjung tradisi peninggalan nenek moyang tersebut. Terutama semua rangkaian kegiatan saat menyambut Imlek.
Hal ini menjadi menarik di Carangsari. Bagaimana kultur warga keturunan Tionghoa terasimilasi dengan adat-istiadat di desa setempat.
Sementara itu, Purna menyebut, sejumlah warga keturunan Tionghoa di sana memeluk agama Hindu. Tetapi dalam kepercayaan mereka, tradisi yang digariskan para leluhur tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari.
"Secara kultur tidak ada bedanya. Kami masih punya pamerajan (tempat sembahyang Hindu di rumah). Ada merajan lengkap dengan palinggih. Minimal palinggih tugu karang dan surya. Kami juga masih ke pura," kata Purna.
"Cuma bedanya, warisan leluhur tidak boleh kami tinggalkan. Seperti sekarang ini, persiapan Imlek tetap wajib kami rayakan," sambungnya.
Warga keturunan Tionghoa di Carangsari diperkirakan ada sejak tahun 1700-an. Salah satu peninggalan yang dijadikan rujukan yakni adanya makam salah satu tetua sudah ada antara tahun 1750 hingga 1800-an masehi.
"Kuburan kami ada di sebelah barat desa. Di sana ada kuburan kakek kami. Sudah ada tercatat sejak tahun 1889. Jadi dari tutur turun-temurun tetua kami diperkirakan kamin datang sekitar 1700-an," sambung dia.
Ada 22 keluarga keturunan Tionghoa yang bermukim di Desa Carangsari saat ini. Sebagian besar bertempat tinggal di wilayah Banjar Pemijian.
Puluhan keluarga ini adalah warga pokok, sementara ada beberapa keluarga lain yang sudah menetap di luar desa, seperti Buleleng hingga Denpasar. Mereka inilah yang aktif dalam melaksanakan suka-duka antarumat di sana.
Meski tidak terikat kewajiban adat, lanjut Purna, dalam berbagai kegiatan di level banjar maupun desa mereka tetap terlibat dengan kesadaran atas dasar persaudaraan. "Ke pura pokok desa seperti pura desa, puseh, dan dalem, warga turut menyungsung," tegasnya.
Ia melanjutkan, dalam pelaksanaan persembahyangan Imlek besok, semua warga keturunan akan kembali pulang ke Carangsari. Setelah sembahyang di kongco masing-masing, dilanjutkan dengan sembahyang ke kelenteng pokok yang menjadi pusat dari para keluarga Tionghoa di masa lalu.
"Besok itu seperti Galungan-Kuningan. Semua saling mengunjungi, meminta maaf, memohon restu. Mereka akan menyambut saudara-saudara kecil. Biasanya mereka akan menyambangi rumah keluarga yang paling tua," pungkasnya.
(nor/hsa)