KPK Ajak Warga Desak DPR Sahkan RUU Perampasan Aset

KPK Ajak Warga Desak DPR Sahkan RUU Perampasan Aset

Aryo Mahendro - detikBali
Selasa, 03 Des 2024 17:47 WIB
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam acara di Sanur, Denpasar, Selasa (3/12/2024). (Aryo Mahendro/detikBali)
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam acara di Sanur, Denpasar, Selasa (3/12/2024). (Aryo Mahendro/detikBali)
Denpasar -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Sebab, RUU yang mengatur tentang perampasan aset hasil korupsi itu sudah diusulkan oleh pemerintah sejak 10 tahun lalu.

"Kami dorong bersama-sama wakil rakyat kita supaya hal ini (RUU Perampasan aset) menjadi agenda penting dalam pemberantasan korupsi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konferensi pers penutupan ASEAN-PAC ke-20 di Denpasar, Bali, Selasa (3/12/2024).

Alexander juga mengimbau warga agar ikut mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, publik harus bersuara agar DPR terdesak dan mengesahkan RUU itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau masyarakat mendukung sepenuhnya dan menuntut agar pemerintah dan DPR itu memproses perampasan aset menjadi undang-undang, mari kita bekerja sama. Jadi, masih butuh kolaborasi bersama," kata Alexander.

Menurutnya, penanganan kasus korupsi akan berlangsung lama jika RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan. Ia mencontohkan pembuktian tindak pidana dari sebuah kasus korupsi yang tidak maksimal saat prosesnya sudah bergulir ke persidangan. Musababnya, dia berujar, penyidik tidak memiliki kewenangan merampas aset hasil korupsi.

ADVERTISEMENT

"Pembuktiannya tidak maksimal. Karena banyak aset-aset (hasil korupsi) yang sulit kami rampas. Yang bersangkutan dapat membuktikan (tidak bersalah), meskipun dari sisi kewajarannya patut diragukan," ungkap Alexander.

"RUU Perampasan Aset mengatur perampasan aset tanpa perlu membuktikan kejahatannya, sepanjang negara mencurigai aset itu diperoleh dari hasil kejahatan," imbuhnya.

Selain mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset, KPK juga mendorong implementasi kesepakatan dari Konvensi Anti Korupsi (UNCAC). Salah satunya, kewenangan menangani kasus korupsi yang terjadi di sektor swasta.

"Indonesia sudah meratifikasi UNCAC sejak tahun 2007. Tapi beberapa ketentuan belum di adopsi dalam produk hukum nasional kita," imbuhnya.

Menurut Alexander, tindak pidana korupsi atau suap dan gratifikasi yang dilakukan pelaku usaha di sektor swasta selama ini belum terlalu tersentuh. Ia menyebut publik menutup mata dan menganggap hal itu hanya bagian dari kegiatan bisnis.

Padahal, dia melanjutkan, korupsi di sektor swasta juga berpotensi merugikan keuangan negara. Sebab, korupsi atau suap yang terjadi di sektor swasta membuat dunia usaha lebih sedikit membayar pajak.

"Kalau suap menyuap antar swasta, ada biaya ekonomi yang tersembunyi dan tidak mungkin berasal dari kantong pribadi. Otomatis mengurangi keuntungan perusahaan. Ketika keuntungan berkurang, pajak yang dibayarkan negara juga berkurang," ujar Alexander.




(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads