Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali mendesak pemerintah segera melakukan moratorium pembangunan hotel dan vila di Pulau Dewata. Masifnya pembangunan dan alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan sekitar 2.000 hektare sawah di Bali lenyap per tahun.
Walhi Bali menilai kebijakan moratorium pembangunan seharusnya sudah diterapkan sejak lama lantaran Bali sudah overbuild. Sebab, banyak ruang hijau yang sudah berubah menjadi bangunan.
"Alih fungsi lahan amat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem serta keadaan Bali. Gempuran berbagai pembangunan infrastruktur yang mengubah bentang alam dan acap kali bersifat ekstraktif," ujar Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata alias Bokis, kepada detikBali, Selasa (10/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walhi Bali menghimpun data alih fungsi lahan di wilayah Badung dan Denpasar sejak 2000-2020. Berdasarkan data tersebut, luas sawah yang tersisa di kedua wilayah itu pada 2020 hanya sekitar 3.000-an hektare. Angka tersebut menyusut dari luas sawah pada tahun 2000 yang kurang lebih sekitar 7.000-an hektare.
"Terjadi pengurangan luas sawah sebesar 4.334,01 hektare atau 23,44 persen hilang dalam kurun waktu 20 tahun," ungkap Bokis.
Luas sawah yang dimaksud Bokis tersebut hanya untuk kawasan Badung dan Denpasar. Ia lantas membandingkan data Dinas Kebudayaan Bali yang menyebutkan sebanyak lima dari 1.596 subak di seluruh Bali hilang pada 2018.
Berdasarkan data tersebut, jumlah sawah yang tersisa di seluruh Bali pada 2018 sebanyak 69 ribu hektare. Jumlah tersebut menyusut dibandingkan luas sawah pada 2014 yang mencapai 80 ribu hektare.
Selama empat tahun itu, Bokis berujar, luas sawah di Bali menyusut sebanyak 11 ribu hektare atau rata-rata berkurang 2.000-an hektare per tahun. "Sawah di Bali saat ini kurang lebih 62 ribu hektare," ucap Bokis.
Industri Hotel Paling Banyak Konsumsi Air di Bali
Bokis lantas menukil data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat meningkatnya pembangunan hotel berbintang maupun nonbintang di Bali. Dalam rentang tahun 2000-2023, dia berujar, jumlah hotel di Pulau Dewata meningkat tajam dari 113 menjadi 541 hotel. Dari sisi jumlah kamar hotel juga meningkat dari 19 ribu kamar menjadi 54 ribu kamar.
Menurutnya, industri perhotelan mengonsumsi sumber daya air terbesar di Bali, yakni sebesar 56 persen. Padahal, dia melanjutkan, data dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara pada 2021 menyebutkan cadangan air di Bali tidak berkelanjutan.
"Hotel tergolong rakus dalam mengonsumsi air. Jika dibandingkan dengan kebutuhan keperluan air untuk domestik hanya memerlukan kurang lebih 200 liter per orang dan per hari. Sedangkan, hotel berbintang memiliki kebutuhan air minimal 800 liter per kamar dan per hari," ujar Bokis.
"Hotel nonbintang, kebutuhan airnya adalah 250 liter per kamar per hari," imbuhnya.
Walhi Bali menilai masifnya pembangunan hotel dapat membawa krisis ekologis bagi Bali. "Berbagai pembangunan sarana akomodasi ini akan menambah beban dan dampak lingkungan, baik alih fungsi lahan hingga krisis ekologis dan krisis air di Bali," ujarnya.
Bokis mendorong pemerintah segera melakukan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata demi kelestarian lingkungan dan alam Bali. Menurutnya, kebijakan tersebut juga harus dibarengi dengan upaya-upaya pemulihan lingkungan dengan memperkuat regulasi pemanfaatan pesisir, hutan, dan lahan pertanian di Bali.
"Mesti ada evaluasi mengenai pembangunan infrastruktur, terutama yang kerap merugikan lingkungan. Mesti ada upaya pemulihan dan melakukan tata kelola lingkungan hidup di Bali," pungkasnya.
(iws/gsp)