Rencana Moratorium Pembangunan Hotel di Bali, Pengamat: Jangan Hanya Wacana

Rencana Moratorium Pembangunan Hotel di Bali, Pengamat: Jangan Hanya Wacana

Rizki Setyo Samudero - detikBali
Senin, 09 Sep 2024 13:08 WIB
Terlihat suasana Pantai Melasti Ungasan di padati wisatawan lokal dan Internasional, Denpasar, Bali,
21 Februari 2022. Pemerintah telah membuka kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia melalui dua pintu masuk, yaitu Bali dan Kepulauan Riau, Dalam hal asuransi kesehatan, contohnya, berdasarkan kesepakatan kementerian dan lembaga terkait,
maka WNA (warga negara asing) diminta memiliki asuransi kesehatan, mempertimbangkan risiko yang ada.
Ilustrasi pembangunan di Bali. (Foto: Ichalchem)
Denpasar -

Pengamat tata ruang dan perkotaan dari Universitas Udayana (Unud), Putu Rumawan Salain, mendesak pemerintah agar segera melakukan moratorium pembangunan di Bali. Menurutnya, wacana moratorium pembangunan tersebut sudah mencuat sejak masa kepemimpinan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.

Rumawan menilai pembangunan di Bali semakin menjadi-jadi lantaran banyaknya desakan dari pengusaha. "Moratorium jangan sampai hanya wacana dan jangan main-main lagi. Harus tegas menyebutkan fungsi-fungsi yang dimoratorium. Nanti kalau tidak boleh bangun hotel, (tapi) boleh bangun pondok wisata, artinya sama saja bohong," ujarnya saat dihubungi detikBali, Senin (9/9/2024).

Wacana moratorium pembangunan di Bali kembali mengemuka setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyoroti masifnya alih fungsi lahan pertanian di Bali. Luhut pun bakal menggelar rapat terbatas (ratas) terkait moratorium pembangunan hotel dan vila, khususnya di kawasan Bali selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rumawan menjabarkan pengelolaan tata ruang di Bali saat ini telah menggeser suasana alami yang menjadi ciri khas Pulau Dewata. Ia menyesalkan sawah-sawah di Bali saat ini berubah menjadi ladang beton.

ADVERTISEMENT

Pria yang juga dosen Fakultas Teknik di Universitas Warmadewa itu membeberkan data yang menyebutkan sebanyak 600-700 hektare tanah di Bali telah beralih fungsi setiap tahun. Malah, informasi terbaru yang dia peroleh menyebutkan alih fungsi lahan di Bali sudah mencapai 1.000 hektare per tahun.

"Serapan sumbangan oksigen sudah semakin berkurang, jadi kota semakin panas," ungkap Rumawan.

Menurut Rumawan, pola pikir masyarakat Bali dalam memandang tanah sudah bergeser. Sawah-sawah hingga tebing-tebing, dia berujar, hanya dilihat untuk kepentingan modal.

"Artinya tanah sekarang sudah tidak dilihat lagi subur atau tidak subur, tapi bisa mendatangkan rezeki atau tidak," imbuh guru besar arsitektur Unud itu.

Dia meminta pemerintah lebih tegas mengontrol dan mengawal pembangunan sesuai Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali. Ia juga mendorong pemerintah daerah agar memperkuat Satpol PP untuk memantau pembangunan maupun aktivitas jual beli lahan di Bali.

"Penguatan Satpol PP ini perlu dan penting. Ujung tombaknya ada di kantor desa, harus terlibat di dalamnya," ujar Rumawan.




(iws/nor)

Hide Ads