Nelangsanya Perempuan Bali Memikirkan Pernikahan dan Urusan Adat yang Kompleks

Round Up

Nelangsanya Perempuan Bali Memikirkan Pernikahan dan Urusan Adat yang Kompleks

Tim detikBali - detikBali
Jumat, 08 Des 2023 09:05 WIB
Ilustrasi - Perempuan Bali. (Ilustrasi ini memanfaatkan bantuan alat sumber terbuka AI, Bing)
Ilustrasi - Perempuan Bali. (Ilustrasi ini memanfaatkan bantuan alat sumber terbuka AI, Bing)
Denpasar -

Perempuan Bali disebut-sebut nelangsa ketika memikirkan pernikahan. Menurut riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Center (WCC), perempuan Bali resah saat dihadapkan dengan kegiatan adat yang kompleks sesudah menikah. Walhasil, mereka ketakutan menempuh grahasta asrama atau jenjang pernikahan menurut konsep Hindu Bali.

Sejumlah perempuan di Pulau Dewata mengakui hal itu. Widya Gita salah satunya.

"Ada ketakutan dan resah untuk menikah dengan segala adat istiadat di Bali menjadi kekhawatiran untuk menikah cepat," kata Gita melalui pesan WhatsApp, Kamis (7/12/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi itu pula yang membuat Gita dan kekasihnya melakukan pertimbangan lebih matang sebelum memutuskan menikah. Terlebih, dia dan kekasihnya kini masih membangun karir, usaha, dan membenahi masalah di keluarga masing-masing.

Adat Tradisi Bali yang Kompleks

Gita mengungkapkan keresahan untuk menikah dirasakan sejak ia memutuskan untuk pindah dan menetap di Bali. Sejak pulang ke rumah asal orang tuanya di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Gita mulai merasakan sibuknya kegiatan adat istiadat di Bali. Ia pun belajar untuk menyama braya (bermasyarakat).

ADVERTISEMENT

"Saya mulai melihat segala macam budaya tradisi yang ada, sehingga di saat tertentu seperti rahinan (hari suci) yang cukup berentetan membuat saya berpikir apakah nanti saya bisa membagi waktu untuk me-adat, keluarga, kerjaan, karir, dan lainnya," ujar Gita.

Gita mengaku tetap ingin bekerja setelah menikah nanti sebagai bentuk aktualisasi diri. Menurutnya, seorang perempuan harus berdaya.

"Sebagai perempuan saya merasa tidak bisa diam saja dan harus ikut membantu suami. Karena suatu saat menikah adalah tentang hak dan kewajiban berdua, bukan hanya salah satu saja yang berjuang," tambahnya.

Biaya Hidup dan Keperluan Upacara Adat

Biaya hidup yang tinggi di Bali juga menjadi alasan Gita untuk tetap bekerja setelah menikah. Belum lagi hidup sebagai orang Hindu Bali banyak pengeluaran tambahan untuk keperluan upacara adat. Mulai dari upacara untuk anak dari lahir sampai menikah hingga upacara kematian (ngaben) yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

"Belum lagi teman kerabat yang punya acara, juga kami mesti menyama braya. Jadi pengeluaran untuk biaya di Bali cukup lumayan sehingga harus ekstra untuk kerja dan mengatur segala halnya," ungkap Gita.

Ni Luh Meisa Wulandari setali tiga uang. Perempuan asal Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, itu menyebut peran perempuan begitu kompleks sehingga muncul ketakutan untuk menikah.

Menurut Meisa, tuntutan pekerjaan yang dihadapi oleh perempuan juga cukup kompleks. Hal itu seringkali menghambat kegiatan sosial di masyarakat, terlebih urusan adat di Bali tidak bisa ditinggalkan.

"Hal ini seringkali memicu kegagalan dalam melaksanakan kedua proses ini sehingga perempuan selalu dihadapkan pada pilihan untuk berhenti meraihnya mimpinya dalam meniti karir adalah hal yang biasa," ungkap remaja lulusan D3 Terapis Gigi dan Mulut itu.

LBH WCC Singgung Hilangnya Kebebasan Perempuan Bali

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Center (WCC) mengungkap para perempuan di Bali galau untuk memutuskan pernikahan. Musababnya, pernikahan kerap dikhawatirkan menghilangkan kebebasan perempuan Bali karena harus sibuk urusan adat.

"Anak-anak muda sekarang sedang resah dan galau apakah kemudian memutuskan untuk melakukan perkawinan itu adalah hal yang baik-baik saja," kata Direktur LBH Bali WCC Ni Nengah Budawati saat konferensi pers di Kota Denpasar, Rabu (6/12/2023).

Perempuan di Pulau Dewata takut jika kesempatan kerja yang mereka miliki tercerabut pascapernikahan. Mereka juga takut keluarga baru di rumah suami tidak bisa mendukung jika perempuan Bali memilih tetap bekerja seusai menikah.

"Apakah keluarga yang baru mendukung keputusan perempuan untuk bekerja dengan kemudian memperlihatkan intelektual dan kreativitas mereka," jelas Budawati.

Selain kegalauan soal bekerja setelah menikah, perempuan Bali juga takut akan dipusingkan dengan urusan adat, budaya, dan agama. Mereka bisa saja tetap bekerja, namun tidak akan bisa lepas dengan urusan adat istiadat yang padat.

"Itu malah jadi kegelisahan anak muda sekarang. Ternyata anak-anak muda berpikir begitu tanpa kita sadari," ungkap Budawati.

Budawati mengungkapkan keresahan perempuan Bali dalam memutuskan pernikahan semakin menakutkan jika didiskusikan. Namun dari diskusi itu, akhirnya memunculkan solusi agar kehidupan perempuan dapat lebih baik pascamenikah.

"Semakin berdiskusi sebenarnya semakin menakutkan. Tetapi juga ada kemudian pertimbangan adalah tidak boleh cemas, tidak boleh takut, ada solusi di mana kemudian memang harapannya baik oleh perempuan," jelas Budawati.




(iws/gsp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads