Bendesa di Lereng Batukaru soal Larangan Mendaki: Akan Banyak Punya Musuh

Bendesa di Lereng Batukaru soal Larangan Mendaki: Akan Banyak Punya Musuh

Chairul Amri Simabur - detikBali
Kamis, 01 Jun 2023 16:38 WIB
Bendesa Adat Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, I Ketut Sucipto.
Foto: Bendesa Adat Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, I Ketut Sucipto. Chairul Amri Simabur/detikBali
Tabanan -

Bendesa Adat Wangaya Gede I Ketut Sucipto menyatakan sependapat dengan rencana larangan pendakian untuk menjaga kesucian gunung.

Apalagi Desa Adat Wangaya Gede di Kecamatan Penebel, Tabanan, punya kewajiban menjaga kelestarian lingkungan di lereng Gunung Batukaru (Batukau). Karena sebagian besar area pegunungan masuk wilayah Wangaya Gede.

Namun di saat yang sama, Sucipto meminta kepastian dari pemerintah untuk mendukung Prajuru Pura Luhur Batukau dalam menjaga kesucian seperti yang dicetuskan Gubernur Bali Wayan Koster.

"Saya sependapat. Tetapi berani tidak ambil risiko. (Kami) pasti akan banyak punya musuh. Orang (mendaki) dilarang sementara ini negara merdeka. Pasti ini (larangan mendaki) ditentang," kata Sucipto, Kamis (1/6/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan tanpa sebab ia menyampaikan hal itu. Jauh sebelum Koster mencetuskan larangan aktivitas pendakian, Desa Adat Wangaya Gede telah menerapkan aturan dan syarat tegas bagi calon pendaki.

"Debat sering. Diancam sering. Oleh mereka yang ingin mendaki. Oleh mereka yang ingin sembahyang. Masalah inilah yang harus dipikirkan," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Meski selama ini mendapat cercaan, Sucipto menegaskan bahwa risiko itu tetap dihadapi prajuru.

"Bagi kami, apapun itu, kalau sudah menjaga kesucian darah pun kami pertaruhkan. Kami tidak pernah mundur menjaga hal seperti itu," tegasnya.

Adapun aturan yang telah diterapkan bagi calon pendaki antara lain wajib menyerahkan fotokopi KTP, jumlah rombongan harus jelas untuk menjamin keselamatan, barang bawaan dicek untuk menjaga kebersihan lereng gunung.

"Misalnya, dia bawa botol mineral. Nanti balik dari gunung akan dicek lagi. Jangan sampai dibuang di atas. Atau, mereka sampai mencuri atau menebang kayu," jelas Sucipto.

Di luar itu, ada aturan khusus lainnya yang berkaitan dengan kesucian gunung. Di antaranya, wanita haid sudah dipastikan tidak boleh mendaki.

"Kalau mau sembahyang, betul tidak bawa banten. Apa mengajak pemangku. Yang paling penting wajib didampingi pemandu agar ada yang mengawasi perilaku mereka," imbuhnya.

Menurutnya, hampir sebagian besar pendakian di Gunung Batukaru dilakukan oleh masyarakat Bali. Khususnya umat Hindu yang hendak melakukan persembahyangan di Pura Pucak Kedaton. Pura ini ada di ujung Gunung Batukau.

"Pantauan kami sebagian warga Bali. Umat Hindu. Ada yang naur sesangi (bayar kaul). Sebulan itu, sekali atau dua kali (pasti) ada. Ini yang kalau dilarang akan susah. Karena ini menyangkut kepercayaan," ungkapnya.

Itu sebabnya, bila aktivitas pendakian dilarang total ujungnya akan menjadi dilema. "Kebanyakan orang yang mendaki itu bukan turis. Tapi warga Bali, umat Hindu, yang mendaki untuk sembahyang," tegasnya.

Selain itu, pintu masuk pendakian ke Gunung Batukaru juga bukan hanya satu saja. Menurutnya, total ada lima pintu masuk.

Tiga pintu di wilayah Penebel meliputi Margi Ida Betara di sebelah barat Pura Luhur Batukau, Jatiluwih, dan Bengkel Anyar. Berikutnya dari Kecamatan Pupuan melalui Pujungan dan Sanda. "Menjaga semuanya tentu kami tidak bisa," sebutnya.

Ini pula yang menjadi keluhannya selama ini. Bahkan menurutnya, sudah lima kali pihaknya hendak duduk bersama antara UPTD Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan Bali Selatan dengan masing-masing pihak yang wilayahnya menjadi pintu masuk pendakian.

"Biar ada kesamaan pemahaman untuk menjaga kesucian dan hutan. Sampai hari ini belum terlaksana. Betul. Sampai hari ini. Saya sudah usulkan dari dua tahun lalu," ungkap Sucipto.

Berhubung seperti itu, Sucipto meminta persoalan larang-melarang pendakian gunung ini sebaiknya dibahas bersama dari kepala daerah mulai gubernur, bupati, serta para bendesa adat yang wilayahnya memiliki pintu masuk pendakian.

"Dan yang paling penting, sanksi untuk pelanggarnya juga harus tegas. Kalau tidak, ya percuma. Buang-buang waktu saja. Di kami, kalau ada yang kedapatan menebang kayu di hutan Gunung Batukau, itu ada jiwa danda (denda badan) dan arta danda (denda materi)," pungkasnya.




(hsa/nor)

Hide Ads