Membangun rumah di lereng bukit atau gunung memiliki banyak keunggulan seperti tanahnya yang subur, udaranya yang segar, hingga pemandangan indah yang bisa dinikmati setiap hari.
Namun, di balik semua kelebihan yang didapat, ada bencana yang bisa mengancam keselamatan jiwa penghuni rumah. Sebab, kondisi lereng berbeda dengan dataran datar yang, tanah di lereng memiliki kemiringan.
Menurut Ketua Kehormatan IAI Jakarta Doti Windajani menyampaikan Indonesia memiliki banyak gunung berapi aktif dan kawasan tersebut masuk dalam bagian taman nasional. Wilayah tersebut seharusnya tidak bisa digunakan untuk permukiman warga. Ada aturan yang mengatur terutama wilayah yang rawan longsor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi perlu banyak pertimbangan, memastikan zonasi pemanfaatan, dan risiko kebencanaan. Sebagian besar tanah di pegunungan di Indonesia mudah longsor, jarang yang bebatuan atau tanah keras," kata Doti saat dihubungi detikProperti, Rabu (9/4/2025).
Menurut Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007, longsor terjadi karena proses alami dalam perubahan struktur muka bumi, yakni adanya gangguan kestabilan pada tanah atau batuan penyusun lereng. Gangguan kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi terutama faktor kemiringan lereng, kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng, dan kondisi hidrologi atau tata air pada lereng.
Kemudian, bencana kedua yang menanti apabila membangun rumah atau bangunan lain di lereng adalah erosi tanah. Bencana ini memang tidak menimbulkan dampak yang besar seperti longsor, melainkan secara perlahan.
Doti mengatakan, kawasan yang rawan erosi tidak digunakan untuk area permukiman, melainkan kawasan hijau.
"Penataan penghijauan lereng perbukitan sangat penting," ujarnya.
Lalu, ada pula potensi terjadi pergerakan tanah dan likuifaksi atau penurunan tanah yang terjadi secara tiba-tiba. Bencana ini pernah terjadi di daerah Cimahi dan Purwakarta pada awal tahun ini, lalu di daerah Palu akibat gempa yang terjadi pada 2018 lalu serta Gubeng Surabaya pada 2018 lalu.
Menurut laman BPBD Kabupaten Bogor, penyebab tanah bergerak di antaranya karena erosi, pergerakan pada lempeng tektonik bumi, beban berlebih, gempa bumi, hingga hujan.
Doti menyampaikan masyarakat dan pemerintah perlu memiliki pemahaman yang sama bahwa kawasan lereng bukit dan gunung sebaiknya digunakan untuk kawasan hijau, bukan untuk perumahan atau bangunan lain.
Ia juga mengingatkan penting untuk adanya penataan kawasan berbasis keselamatan, untuk peruntukan hunian baik itu di perbukitan maupun pantai atau sungai. Lalu, perlu adanya aturan bangunan gedung yang jelas, terutama di kawasan yang berisiko, pemahaman masyarakat atas risiko, adanya perencana dan pelaksana bangunan maupun rumah tinggal, pemberi ijin dalam hal ini dinas terkait, hingga perlunya evaluasi per kurun waktu.
(aqi/aqi)