Gubernur Bali Wayan Koster menerbitkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Salah satu hal yang diatur dalam SE tersebut adalah larangan peredaran air minum kemasan plastik berukuran di bawah satu liter di Pulau Dewata.
Kebijakan tersebut menuai berbagai tanggapan dari publik, termasuk desa adat hingga perusahaan air minum kemasan di Bali. Terlebih, Koster menyiapkan sanksi berupa penundaan pencairan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) bagi desa adat yang tidak dapat melaksanakan SE tersebut.
Berikut beragam respons terkait larangan menggunakan air mineral kemasan plastik di Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Desa Adat Butuh Waktu
Sekretaris Desa Adat Tuban I Gede Agus Suyasa mengungkapkan penerapan kebijakan Koster itu membutuhkan waktu. Ia menilai kebijakan ini tidak bisa dibebankan kepada desa adat saja.
"Dengan dilarangnya menggunakan plastik, secara otomatis dalam rapat kami tidak boleh menyediakan minuman kemasan. Sehingga, dibutuhkan dispenser air minum dan tempat minum untuk pengganti air kemasan," kata Agus, Senin (7/4/2025).
Agus merasa kurang adil jika sanksi itu hanya dibebankan kepada desa adat, sementara pelaksanaan kebijakan ini melibatkan banyak komponen masyarakat. Ia berpendapat penanganan sampah yang baik justru lebih bermanfaat dibandingkan melarang penggunaan plastik sekali pakai.
"Pemerintah harus menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan sampah secara menyeluruh. Kenapa Surabaya mampu menangani sampah, sedangkan Bali tidak mampu? Ini juga akan menjadi pertanyaan besar," imbuh Agus.
"Perlu waktu disosialisasikan secara menyeluruh dan serentak dengan mengajak masyarakat untuk peduli dengan hal ini," imbuhnya.
Bendesa Adat Buruan, Gianyar, I Wayan Arsa, mengatakan masyarakat di desanya sudah mulai diedukasi terkait penggunaan plastik sekali pakai. Biasanya, masyarakat Buruan menggunakan plastik sekali pakai untuk berbelanja ke warung.
"Mungkin yang perlu lebih kami garap ke depan adalah penyadaran ke warung-warung biar meminimalisasi plastik sekali pakai," ujar Arsa.
Arsa tidak keberatan jika sanksi tegas dari pemerintah daerah yakni penundaan pencairan dana BKK. Hal itu, dia berujar, menjadi motivasi bagi desa adat untuk mengimplementasikan kebijakan demi Bali yang lebih baik.
Ia menyadari persoalan sampah menjadi momok bagi Bali. "Karena kelalaian kita bersama selama ini semua pihak di semua tingkatan memang harus bahu membahu untuk terciptanya Bali yang bersih," imbuh Arsa.
Sebelumnya, Koster mengancam akan menunda pencairan BKK bagi desa adat yang tidak membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Selain itu, desa yang tidak mematuhi aturan tersebut juga terancam sanksi administratif lainnya. Termasuk insentif bagi perbekel dan perangkat desa juga akan ditunda.
"Desa, kelurahan, dan desa adat yang tidak melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dikenakan sanksi berupa penundaan bantuan keuangan," kata Koster saat konferensi pers di Rumah Jabatan Jayasabha, Denpasar, Minggu (6/4/2025).
Yeh Buleleng Serahkan ke Aspadin
Direktur Perusahaan Air Minum Kemasan Yeh Buleleng Nyoman Artha Widnyana turut merespons larangan produsen air mineral untuk memproduksi kemasan plastik berukuran di bawah satu liter. Ia mempercayakan hal itu kepada Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin).
"Kami percayakan ke Aspadin untuk memperjuangkan dan memberikan masukan yang terbaik kepada Gubernur," kata Artha, Senin.
Sementara itu, PDAM Badung yang berencana memproduksi air mineral dalam kemasan (AMDK) melalui anak perusahaan PT Badung Hebat Jaya memastikan akan mengikuti aturan Pemprov Bali. Perusahaan ini pun bakal membuat AMDK dengan kemasan kaca.
"Kami tentu tunduk dengan aturan yang sudah dibuat pemerintah. Apapun yang dicanangkan termasuk tentang AMDK," kata Direktur Utama Perumda Tirta Mangutama I Wayan Suyasa, Senin.
Saat ini, PT Badung Hebat Jaya belum memproduksi air minum kemasan karena sedang menunggu izin edar yang diperkirakan keluar April ini. Kesempatan itu dimanfaatkan perusahaan daerah untuk merancang skema produksi air minum bermerek 'Baliss'.
"Memang belum berjalan. Nah, ke depannya sesuai aturan itu, kami tidak akan produksi air di bawah satu liter dengan memakai plastik. Mungkin akan memproduksi galon atau produk sejenis di atas satu liter," jelasnya.
Dia memproyeksikan produk asli Badung itu bisa merambah pasar pariwisata, seperti hotel-hotel hingga pusat oleh-oleh. "Misalnya kami produksi untuk dipasarkan di hotel, setelah habis kan bisa dipungut lagi. Kalau plastik memang akan terbuang dan akan menjadi limbah," sebut Suyasa.
Cok Ace Yakin Kesadaran Masyarakat Tumbuh
Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Arta Ardhana Sukawati alias Cok Ace mengatakan SE tersebut merupakan penegasan dari peraturan-peraturan yang sebelumnya diterbitkan oleh Pemprov Bali. Cok Ace yakin keluarnya SE itu dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam penanganan sampah.
"Saya rasa teman-teman pengusaha sangat cocok sangat setuju, kami sudah jalankan," kata Cok Ace, Senin.
SE tersebut juga mengatur sanksi bagi pelaku usaha hotel, restoran, pusat perbelanjaan, hingga kafe jika tak melakukan pembatasan plastik sekali pakai. Adapun, sanksi yang disiapkan Pemprov Bali berupa peninjauan kembali hingga pencabutan izin usaha.
Cok Ace menyebut beberapa hotel masih menggunakan plastik sekali pakai. Dia menilai ketidakpatuhan dalam implementasi peraturan sebelumnya menjadi dasar SE tersebut diterbitkan oleh Gubernur Bali Wayan Koster.
"Kurang pemahaman kemudian ada keterbatasan fasilitas, misalnya tempat pembuangan sampah tidak ada, itulah dipertegas oleh SE," jelas mantan Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 yang mendampingi Koster itu.
(iws/nor)