Masjid Baiturrahman di wilayah Desa Petang menjadi tonggak keberadaan komunitas muslim satu-satunya di wilayah perbukitan utara Kabupaten Badung, Bali. Kawasan itu kini dikenal sebagai kampung muslim Angantiga.
Komunitas muslim ini berasal dari suku Bugis, Bone, Sulawesi Selatan. Mereka diperkirakan mendiami kawasan Angantiga sejak 1800 Masehi. Ada beberapa versi terkait asal mula warga Bugis mendiami wilayah Angantiga.
Salah satu versi menyebut keberadaan warga Bugis di Angantiga terkait permintaan Puri Carangsari, Badung. Konon, Puri Carangsari pernah meminta warga Bugis untuk mengamankan wilayah hutan dari gangguan kejahatan maupun mistis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Kampung Angantiga Petang M Ramsudin (48), menyebut kisah kedatangan warga Bugis ke Petang tercatat pada sejumlah lontar yang disimpan di Puri Carangsari. Menurut versi ini, warga muslim Angantiga mulanya bermukim di wilayah pesisir Pulau Serangan, Denpasar Selatan setelah melakukan pelayaran. Niat warga Bugis ini awalnya hanya untuk mencari sumber penghidupan baru di Bali.
Diceritakan Ramsudin, warga Bugis sempat bersitegang dengan warga lokal Bali dalam sebuah arena sabung ayam. Keributan itu kemudian didengar oleh Kerajaan Badung dan memanggil warga Bugis ini untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Tetapi saat itu, kemungkinan pihak kerajaan melihat ada potensi dari leluhur kami sehingga warga muslim ini diminta untuk tetap ada di Badung sebagai kelompok penggawa," tutur Ramsudin, Minggu (26/3/2023).
Di tempat lain, masih menurut cerita ini, Puri Carangsari meminta beberapa penggawa di Kerajaan Badung untuk tinggal di Alas Bangkiang Jaran. Tempat itu merupakan hutan di sebelah utara puri yang kini menjadi Kampung Muslim Angantiga. Dahulu, hutan itu dikenal rawan kejahatan dan angker.
"Wilayah puri dari Puncak Mangu sampai hutan pala Sangeh itu, hutan Bangkiang Jaran ada di tengah-tengah. Setiap orang datang dari utara merasa tidak aman. Tiga tokoh bernama Daeng Mapile, Daeng Ordi, dan Tuan Haji Saleh ini diminta tinggal di Angantiga," jelas Ramsudin.
Setelah sekian lama, kawasan alas Bangkiang Jaran aman. Tiga tokoh Bugis ini diberikan tempat tinggal dan diizinkan mondok. Pihak Puri Carangsari lantas memberikan nama kawasan itu Angantiga, yakni angan atau angen yang berarti pendirian dan tiga merujuk para tokoh Bugis.
"Kampung Angantiga kemudian berkembang setelah warga dari Desa Buduk Mengwi diminta mendampingi warga Bugis. Terjadi juga perkawinan antar warga Bali dengan Bugis," ungkapnya.
Masjid Baiturrahman, Terbesar di Badung Utara
Sementara itu, Masjid Baiturrahman di kampung setempat yang dibangun pada 1936, menjadi bukti keberadaan warga muslim eksis di tengah padatnya penduduk Hindu Bali. Masjid tersebut awalnya hanya berupa tempat ibadah biasa, lalu berkembang menjadi langgar.
Masjid Baiturrahman sudah berpindah tempat empat kali dari posisi awal. Masjid ini menjadi terbesar di wilayah Badung utara dan sekaligus menjadi ikon adanya perkampungan muslim keturunan Bugis di Badung.
Kampung Angantiga dengan Desa Adat Angantiga menjadi satu banjar dinas di Desa Petang. Jumlah penduduk sekitar 200 kepala keluarga (KK) lebih, terdiri dari 142 KK kampung muslim, dan 105 KK warga adat Bali. Menurut Ramsudin, warga antar kampung hidup rukun berdampingan.
"Kami menjunjung tinggi toleransi karena memang kami bersaudara, saling hargai dan pergaulan kehidupan kami di sini sudah sama seperti warga Hindu. Sehari-hari sudah biasa, saling ngidih (meminta), ngejot, majenukan saat orang meninggal itu kami ikut," pungkas dia.
(iws/hsa)