Tak ada yang meragukan kepakaran Habibie dalam dunia teknologi. Rasanya tak berlebihan jika menyebut ilmuwan dengan puluhan hak paten itu sebagai sosok yang jenius. Namun bukan hanya itu yang membuat Habibie spesial, selain memiliki pemahaman intelektual di atas rata-rata, dia juga memiliki kecerdasan spiritual yang luar biasa.
Kesibukannya sebagai pejabat tinggi negara, memimpin perusahaan dan berbagai organisasi tak membuatnya lalai menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Habibie dikenal sebagai sosok intelektual yang agamis. Selain menjalankan kewajiban utama salat 5 waktu, Habibie juga rutin mengerjakan ibadah-ibadah sunah seperti puasa Senin-Kamis dan salat tahajud.
Menurut Habibie, menjaga hubungan baik dengan sang pencipta melalui ibadah-ibadah rutin tersebut bukanlah sebuah penghalang, justru menjadi dorongan bagi seseorang untuk sukses. Ia meyakini bahwa agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi saling mengisi dan saling melengkapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putra pertamanya, Ilham Akbar Habibie, juga pernah memberikan penjelasan mengenai prinsip ini. Dalam sebuah seminar nasional yang digelar di Universitas Hasanuddin, Senin (2/9/2024), Ilham menggambarkan bahwa prinsip tersebut dapat digambarkan sebagai keseimbangan antara Imtaq (iman dan taqwa) dan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Sebagai seorang muslim, penting bagi kita untuk memiliki dua-duanya.
"Bagaimana kita harus melihat dua-duanya dalam hubungan satu sama lainnya? Kalau kita lihat, bapak selalu menerangkan seperti ini, bayangkan kita hanya mempunyai Imtaq, 0 Iptek, maka kita adalah orang yang kalau menemukan masalah kita tidak berdaya, kita tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah. Orang yang hanya Imtaq 0 Iptek, orang yang tak berdaya," jelas Ilham.
"Sebaliknya, kalau kita 0 Imtaq, 100% Iptek, kita bisa bahaya karena kita tidak punya nilai-nilai ethos and moral yang diturunkan untuk bagi kami sebagai muslim dari Al-Quran dan As-sunnah untuk menilai apakah tindakan dan ide kita itu baik atau tidak baik. Jadi dua-duanya sesungguhnya harus kita miliki," imbuhnya.
Mendirikan ICMI, Wadah Pemersatu Cendekiawan Muslim Indonesia
![]() |
Sebagai sosok teknokrat yang agamis, Habibie memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama yang dianutnya. Kecintaannya terhadap Islam membuat Habibie rela menambah daftar panjang tugas sehari-harinya demi memikirkan perkembangan dan kemajuan Islam di Indonesia.
Maka, ketika muncul gagasan untuk mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Habibie tanpa ragu menyambutnya. ICMI lahir dari semangat kebangkitan Islam di belahan dunia timur. Organisasi ini berdiri pada tanggal 7 Desember 1990 dengan diketahui oleh BJ Habibie yang terpilih secara aklamasi.
Gagasan pendirian ICMI bermula dari sekelompok Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang yang tergabung dalam kelompok kegiatan kerohanian Islam. Para mahasiswa ini merasa resah melihat kondisi umat muslim yang seolah-olah terjadi polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam.
Setelah melakukan diskusi dan berkonsultasi dengan sejumlah cendekiawan muslim di Malang, mereka sepakat untuk mengadakan simposium dan membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Nama Habibie kemudian muncul sebagai salah satu tokoh yang akan dicalonkan sebagai ketua ICMI.
Atas saran dari tokoh-tokoh cendekiawan muslim yang telah ditemui, para mahasiswa ini disarankan untuk menemui langsung dan menyampaikan rencana pencalonan BJ Habibie sebagai ketua.
Pertemuan pertama dengan BJ Habibie berlangsung di Musala Gedung BPP Teknologi pada tanggal 3 Agustus 1990 selepas salat Jumat. Pada kesempatan itu Habibie menyatakan kesediaannya. Namun dikarenakan saat itu Habibie sedang menjabat sebagai menteri, maka dia perlu mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto terlebih dahulu.
Habibie lalu memberikan arahan kepada mahasiswa tersebut untuk menuliskan surat permohonan resmi yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya oleh 50 ilmuwan dengan pendidikan S-3. Surat itu nantinya akan diperlihatkan kepada presiden Soeharto.
Tak mudah mengumpulkan 50 tanda tangan untuk disertakan dalam surat permohonan tersebut. Di tahap awal, para mahasiswa tersebut hanya berhasil mengumpulkan 34 tanda tangan setelah berpencar ke Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, hingga Malang. Atas saran dari A Makmur Makka, Kepala Bagian Humas dan Protokoler BPPT kala itu, para mahasiswa mengumpulkan tanda-tangan dari nama-nama ilmuwan BPPT sehingga totalnya menjadi 49 tanda-tangan.
49 tokoh yang menyetujui pencalonan Habibie tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Meskipun beberapa dari mereka belum saling mengenal, prestasi dalam skala nasional maupun internasional sebagai ilmuwan menjadi faktor utama sehingga Habibie dinilai sesuai untuk memimpin ICMI. Habibie juga dinilai sebagai tokoh yang diharapkan jadi pemersatu cendekiawan muslim di Indonesia.
Setelah melalui proses yang panjang dan berliku, simposium dan pembentukan ICMI berhasil digelar. Kegiatan tersebut berlangsung pada tanggal 6-8 Desember 1990 di Malang. Tema simposium yang awalnya 'Sumbangsing Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas' diubah menjadi 'Simposium Nasional Cendekiawan Muslim Membangun Masyarakat Abad XXI'.
Kelahiran organisasi tersebut disambut baik oleh umat muslim di Indonesia. Kendati demikian, terdapat beberapa pihak menolak kehadiran organisasi ini. Terpilihnya Habibie sebagai ketua juga mendapat respon miring hingga serangan politik dari sejumlah pihak.
Kalangan nasional sekuler yang terpinggirkan selama masa orde baru menuduh bahwa Habibie diberikan izin mendirikan ICMI karena kedekatannya dengan Soeharto. Mereka menganggap Habibie layaknya anak emas Soeharto yang segala keinginannya akan dipenuhi.
Jelang masa pemilu 1993, santer kabar yang menyebut bahwa Habibie akan dicalonkan sebagai wakil presiden. Kabar ini membuat Habibie dituding sengaja mendirikan ICMI sebagai kendaraan politik untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Pada akhirnya tudingan miring tersebut berhasil dibendung usai Habibie menyatakan tak bersedia dicalonkan sebagai wakil presiden dalam Pemilu 1993. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa Habibie bukanlah sosok yang haus akan jabatan.
Terjun ke Dunia Politik hingga Dilantik Jadi Presiden RI ke-3
![]() |
Karier Politik BJ Habibie dimulai ketika ditunjuk oleh Soeharto sebagai Menteri Riset dan Teknologi 4 periode berturut-turut sejak 1978 hingga 1998. Selama kurang lebih dua puluh tahun mendampingi Presiden Soeharto, Habibie belajar tentang banyak hal, mulai dari falsafah dan budaya bangsa, sikap kepemimpinan, nasionalisme, integralisme, dan lain-lainnya. Berbekal pelajaran tersebut serta restu dari Presiden Seoharto, Habibie jadi mempunyai ruang untuk terjun dalam dunia politik.
Selain itu, kedudukannya sebagai Ketua ICMI maupun sebagai koordinator Harian Dewan Dewan Pembina Golkar tentu membuat ia dekat dengan banyak tokoh-tokoh politik, cendekiawan, dan tokoh-tokoh agama.
Setelah sebelumnya sempat menyatakan tak bersedia dicalonkan sebagai wakil presiden pada Pemilu 1993, nama Habibie kembali mencuat dalam bursa calon wakil presiden pada Pemilu 1998. Kali ini Habibie tidak tertandingi dengan nama-nama lain sehingga dia terpilih menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Soeharto untuk masa jabatan 1998-2003.
Tak lama setelah Kabinet Pembangunan VII terbentuk, berbagai polemik di Tanah Air bermunculan, mulai dari konflik horizontal di berbagai daerah di Indonesia, gangguan ketertiban dan keamanan, hingga krisis moneter yang menyebabkan nilai rupiah ambruk.
Bagai efek domino, hancurnya perekonomian di Indonesia kala itu memaksa banyak industri dan perusahaan gulung tikar. PHK besar-besaran pun tak terhindarkan dan mengakibatkan banyak pengangguran. Puncaknya, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat makin intens turun ke jalan untuk berdemo menuntut Soeharto lengser dari jabatannya.
Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri setelah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Kabinet Pembangunan VII menjadi periode pemerintahan orde baru yang terakhir. Sesuai amanat konstitusi, Habibie pun dilantik menjadi Presiden ke-3 RI menggantikan Soeharto. Habibie dilantik menjadi Presiden RI setelah sebelumnya menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden RI selama 70 hari.
Dilantiknya Habibie menggantikan Soeharto tak lantas membuat kondisi Indonesia langsung membaik. Sebaliknya, masa pemerintahannya justru menjadi masa-masa yang penuh gejolak. Kondisi keamanan dan ketertiban menjadi sangat rawan, tuntutan-tuntutan reformasi di berbagai bidang terus bergulir.
Oleh sebagian kalangan, Habibie dianggap tidak tepat memimpin Indonesia di era reformasi. Habibie berada dalam posisi sulit karena dianggap sebagai bagian dari orde baru yang menjadi biang kehancuran demokrasi. Kondisi-kondisi tidak ideal inilah yang membuat Habibie semakin sulit menjalankan pemerintahan.
Meskipun diwarnai dengan berbagai gejolak, Habibie mampu menjawab tantangan tersebut dengan keberhasilannya menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditempuhnya berhasil mendongkrak perekonomian Indonesia secara signifikan. Dalam masa pemerintahan yang singkat, Habibie berhasil menguatkan nilai tukar rupiah dari Rp 17.000 menjadi Rp 6.000 per dolar.
Prestasi lainnya yang cukup menonjol di era kepemimpinan Habibie adalah terbukanya kran demokrasi, kebebasan pers, kebebasan berpendapat bagi masyarakat, hingga pembebasan tahanan politik. Habibie juga sangat terbuka menerima kritikan lawan-lawan politiknya.
Di masa pemerintahannya, Habibie juga membuat kebijakan yang memberi opsi kepada rakyat Timor Timur untuk memilih merdeka atau bergabung dengan NKRI. Ketika rakyat Timor Timur akhirnya memilih merdeka dan melepaskan diri dari Indonesia, Habibie pun menuai beragam kritikan dan protes. Oleh sekelompok masyarakat, ia bahkan digelari 'Bapak Disintegrasi Bangsa' karena membiarkan Timor Timur lepas dari pangkuan NKRI.
Kendati demikian, tidak sedikit yang mendukung langkah Habibie. Kebijakan tersebut dinilai justru membawa dampak yang positif karena Tim Tim dianggap hanya menjadi beban bagi rakyat Indonesia, pasalnya 93% anggaran pembangunan Tim tim berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Akhir Masa Pemerintahan BJ Habibie
![]() |
Salah satu agenda reformasi yang diamanatkan kepada pemerintahan Habibie adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 1999. Namun, rupanya pesta demokrasi tersebut rupanya menjadi Pemilu pertama dan terakhir dalam masa pemerintahan Habibie.
Setelah pemilihan umum dan keanggotaan DPR dan MPR terbentuk, Habibie segera mengurungkan niatnya mencalonkan diri sebagai presiden usai pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh sebagian besar anggota MPR pada Sidang Istimewa MPR 1999. Penolakan itu karena Habibie dinilai gagal melaksanakan agenda-agenda reformasi.
Mundurnya Habibie dari pencalonan presiden sekali lagi menunjukkan bahwa dirinya bukanlah sosok yang ambisius terhadap jabatan. Meskipun masih banyak pihak yang mencoba mempertahankannya sebagai Presiden RI, Habibie tetap teguh pada prinsipnya, dia hanya bersedia menjadi presiden apabila dikehendaki oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Tak sedikit rakyat yang kecewa atas mundurnya Habibie dari pencalonan presiden. Sosok Habibie dengan pengalaman pemerintahaan, kecendekiawanan, hingga popularitasnya di dunia internasional dianggap tak tertandingi oleh calon-calon lainnya. Setelah Pemilu 1999 diselenggarakan, akhirnya ditetapkan K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI ke-4. Gus Dur dilantik pada tanggal 20 Oktober 1999 untuk masa bakti 1999-2004.
Membangun The Habibie Center
![]() |
Tak berselang lama setelah Habibie menyerahkan jabatannya, dia memutuskan kembali ke Jerman dan menetap di sana. Meskipun raganya telah beranjak dari Indonesia, langkah perjuangannya tak terhenti begitu saja.
Untuk terus menghidupkan nilai-nilai dasar demokrasi, Habibie yakin bahwa harus ada strategi yang dikembangkan. Gagasan demokrasi yang telah dirintis selama ia memerintah harus tetap tumbuh.
Berangkat dari cita-cita inilah akhirnya Habibie mendirikan sebuah lembaga sosial masyarakat yang dinamai The Habibie Center. Lembaga ini adalah lembaga yang didirikan sebagai upaya mengawal dan mendampingi perkembangan demokrasi di Indonesia dengan berbagai aktivitas dan penelitian.
The Habibie Center didirikan pada tanggal 10 November 1998, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional. Dana untuk kegiatan lembaga nirlaba ini bersumber dari gaji dan tunjangan Habibie ketika menjadi presiden serta sumber-sumber lainnya yang diperoleh Habibie secara halal.
Lembaga ini secara rutin mengadakan diskusi dan seminar, maupun penelitian dan pengkajian dengan tema-tema yang berkaitan dengan demokrasi, hukum, dan HAM.
Referensi:
Buku Empat Figur Yusuf, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan
Buku Mr. Crack dari Parepare
Seminar Nasional Ethos 4 Jusuf, Prinsip dan Karakter Bugis-Makassar
(urw/alk)