Mengenal arak Bali sejak kecil dari pengobatan tradisional, membawa Ida Ayu Puspa Eny (65) menjadi perajin arak bercukai. Kini ia memiliki usaha Iwak Arumery.
Ia mengaku sudah mengenal arak sebagai pengobatan dari sang kakek. Kebiasaan pengobatan arak yang diturunkan kakeknya itu, kini diteruskan keluarganya. Ia sendiri memiliki bisnis arak Bali.
"Waktu kecil saya sakit-sakitan dan itu hampir menahun. Kemudian, kakek saya yang seorang usadha atau bisa mengobati penyakit memperkenalkan saya pada ramuan obat-obatan dan itu ada sedikit arak. Jadi, kita harus melestarikan warisan budaya ini agar tidak menjadi sesuatu yang direndahkan," tuturnya, Sabtu (28/1/2023) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan ditetapkannya tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali, menurutnya menjadi kabar gembira bagi perajin arak di Bali. Sebab, ia merasa Pemerintah Provinsi Bali memberikan ruang untuk perajin arak bisa memperlihatkan diri dan mengekspresikan karya.
"Saya apresiasi sekali. Dulu sebelum ada Pergub, saya belum berani publikasi arak dan hanya kalangan keluarga yang tahu arak saya ini," ucapnya.
Sebagai pemilik Iwak Arumery, Puspa memadukan arah dengan rempah-rempah dan buah-buahan. Total ada lima varian Iwak Arumery yang telah memiliki pita cukai, yakni varian origin atau arak dengan beragam rempah-rempah betutu; varian mangostine atau arak dengan buah manggis.
Kemudian, varian berries atau arak dengan buah juwet, strawberry hingga raspberry; varian avog dari campuran biji kopi berkualitas; dan varian amerita perpaduan arak lontar, aren, dan kelapa.
"Saya bekerja sama dengan 20 ibu-ibu petani arak di Karangasem. Ada juga di Bondalem dan Sidemen. Ciri khas Iwak Arumery karena variannya, jadi tidak hanya sekadar arak Bali yang didistilasi lalu dikemas," ucapnya.
Menurutnya, dibutuhkan proses selama satu tahun hingga produk arak Iwak Arumery selesai. Setelah proses distilasi sebanyak dua kali, calon arak tersebut akan didiamkan selama enam bulan. Kemudian dilanjutkan dengan pencampuran rempah dan buah-buahan, lalu difermentasi selama enam bulan.
"Sistem kerja sama dengan petani, saya biarkan mereka bertani dengan membuat arak tersendiri. Barulah nanti arak-arak itu dikumpulkan di koperasi dan distandardisasikan di pabrik saya," jelasnya. Sementara bahan baku diperoleh dari Bondalem, Sidemen, dan Merite.
Di sisi lain, meski baru berjalan tujuh bulan, Iwak Arumery telah terjual hingga Surabaya, Jakarta, dan daerah lain sebanyak 400-500 botol per bulan. Harga Iwak Arumery mulai dari Rp 300 ribu- Rp 700 ribu per botol.
Hingga saat ini telah ada beberapa permintaan untuk mengekspor Iwak Arumery ke beberapa negara, seperti Australia, Jerman, Prancis, hingga Belanda. "Setelah Iwak Arumery dijadikan sajian dan suvenir KTT G20 peningkatan penjualan sampai 50 persen, karena banyak yang penasaran dengan minuman ini," akunya.
(irb/nor)