Sosok Kebo Iwa memiliki arti khusus bagi masyarakat di seluruh wilayah Desa Adat Bedha yang mencakup 38 banjar adat di tiga kecamatan, yakni Tabanan, Kediri, dan Kerambitan. Sosoknya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Pura Puseh Luhur Bedha Tabanan. Pura yang merupakan salah satu jejak peninggalan Kebo Iwo sebelum Kerajaan Majapahit menginvasi Bali.
Sebuah upacara besar atau piodalan dilaksanakan setiap enam bulan sekali di pura yang berada di Banjar Bedha, Desa Bongan, Kecamatan/Kabupaten Tabanan, Bali. Tepatnya pada Buda Kliwon Wuku Pahang atau sebulan setelah Hari Raya Galungan.
Bendesa Adat Bedha, I Nyoman Surata mengungkapkan, ada beberapa sumber tertulis yang menyebutkan waktu perkiraan pembangunan Pura Puseh Luhur Bedha. Sumber tertulis itu, antara lain Lontar Purana Pura Puseh Luhur Bedha dan Lontar Purana Bali Dwipa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Lontar Purana Bali Dwipa, pembangunan Pura Puseh Luhur Bedha berawal dari misi pertahanan militer Raja Bedahulu, Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten, yang memerintah Bali pada rentang 1328 hingga 1343 Masehi.
Misi itu dijalankan untuk mengantisipasi invasi Kerajaan Majapahit pada 1333 Masehi. Saat itu, Gajah Mada yang dikenal dengan sumpahnya, yakni Sumpah Palapa, sedang menjalankan misi untuk memperluas wilayah Kerajaan Majapahit.
"Saat itu Kebo Iwa merupakan salah satu patih dari Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang memerintah di Bali," jelas Surata.
Dalam menjalankan tugas militernya, Patih Kebo Iwa didampingi 800 orang pasukan. Setibanya di wilayah Banjar Bedha, Kebo Iwa kemudian membangun tempat suci berupa pura dengan meru tumpang solas atau bermeru sebelas tingkat.
Sampai kini bangunan pura yang dibangun sebelum 1333 Masehi itu masih berdiri tegak. Atapnya yang berupa susunan meru sebelas tingkat menjulang tinggi.
Selain itu, Kebo Iwa bersama pasukannya membangun sebuah balai besar, yakni kini dinamakan Balai Agung. Awalnya, panjang balai itu mencapai 500 meter, bahkan panjangnya membentang hingga ke seberang sungai atau Tukad Yeh Empas di barat Pura Puseh Luhur Bedha sekarang.
"Balai itu terdiri dari 1.007 tiang. Balai ini awalnya dipakai untuk menampung bala tentara Ki Patih Kebo Iwa yang jumlahnya 800 orang," kata Surata, mantan dosen arsitektur tersebut.
Kini, bangunan Balai Agung itu tinggal 16 pilar. Sementara pilar terakhirnya yang ada di seberang sungai tinggal sebuah gundukan. Sekarang, gundukan itu menjadi titik pembangunan Patung Ki Patih Kebo Iwa.
Ia menuturkan, sosok Kebo Iwa bukan hanya dikenal sebagai seorang panglima militer. Ia juga merupakan seorang undagi atau arsitek. Sehingga saat tiba di Bedha, ia pertama kali membangun pura dengan merunya yang tinggi.
Tidak hanya itu, kemampuannya di bidang arsitektur juga diterapkan dalam usaha membangun kesejahteraan warga dari bercocok tanam. Salah satunya dengan membangun empelan atau bendungan, saluran irigasi, hingga lumbung padi.
"Selain mahir di bidang militer, Ki Patih Kebo Iwa juga seorang undagi. Di masa sekarang sama seperti arsitek. Dengan kemahirannya itu, beliau mengajarkan warga membuat empelan, saluran irigasi, dan lumbung tempat menyimpan padi yang dipanen," tuturnya.
Jejak peninggalan Kebo Iwa dalam bidang pertanian ini, masih bisa dilihat dari keberadaan beberapa pura subak yang ada di wilayah Desa Adat Bedha. Subak merupakan sebuah organisasi dan sistem pertanian tradisional Bali yang sampai saat ini masih dipertahankan.
"Di pura desa lain belum tentu ada bangunan pura subaknya. Itu yasa kerti (pengabdian) beliau di Bedha," tutur Surata, seraya menyebutkan kiprah Kebo Iwa tersebut terpahat pada relief yang ada di bagian bawah Balai Agung.
Semasa Kebo Iwa ada di Bedha, tidak mudah bagi pasukan Majapahit untuk melakukan invasi. Sebab Kebo Iwa merupakan patih yang sakti dan digdaya. Dalam Lontar Purana Bali Dwipa, invasi Majapahit itu baru bisa dilakukan setelah Gajah Mada meminta Kebo Iwa ke Jawa untuk dinikahkan dengan seorang putri dari Majapahit.
Saat tiba di Majapahit, Kebo Iwa memang dipertemukan dengan putri yang dijanjikan. Namun untuk menikahinya, Kebo Iwa diminta membuatkan taman yang di tengahnya dilengkapi dengan sumur.
"Saat menggali sumur itu, tiba-tiba Kebo Iwa ditimbun. Tapi karena kesaktiannya, Kebo Iwa tidak mudah ditimbun begitu saja," tutur Surata.
Namun, setelah mengetahui bahwa Gajah Mada hendak menjalankan Sumpah Palapa untuk mempersatukan wilayah Nusantara, Kebo Iwa kemudian mengalah. "Dengan catatan ia ditimbun dengan batu kapur," pungkasnya.
(irb/irb)