Kesenian gong suling di Kelurahan Dauhwaru, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Bali, terancam punah. Kini hanya tersisa dua orang yang masih menekuni kesenian yang ada sejak 1965 itu.
"Wenten papat sane sisa, bin dadua sampun lingsir ten kuat (ada empat yang tersisa, lagi dua sudah lansia tidak kuat)," kata Ketut Nyantra, generasi awal gong suling di Dauhwaru, Jembrana, kepada detikBali saat ditemui di rumahnya, Minggu (22/5/2022).
Kondisi memprihatinkan kelompok gong suling itu membuat I Gede Eka Budaya (50), salah satu tokoh seni asal Dauhwaru Jembrana tergerak. Ia berupaya membangkitkan kesenian gong suling.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gede Eka Budaya yang juga anak dari salah satu perintis gong suling di Jembrana mendidik dan mengajak generasi muda setempat untuk melestarikan kesenian gong suling.
Hanya saja, minat generasi muda yang ingin belajar suling minim. Terlebih lagi memainkan suling Bali memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
"Bapak sebelum meninggal sering cerita mengenai gong suling. Bahkan sering main suling sendiri," kata Gede Eka.
Menurut cerita ayahnya, gong suling berawal dari berkumpulnya beberapa orang pemuda di Kelurahan Dauhwaru. Dari sanalah mereka membuat alat musik tradisional berbahan bambu.
Seiring waktu, gong suling di masa awal sukses mendapat banyak penggemar yang ikut bermain suling. Komunitas seni suling juga bermunculan.
"Anggota kelompok yang ada saling mengajarkan pada pemuda lain hingga terbentuk sekaa demen dengan jumlah lebih banyak," kisahnya.
Kesenian gong suling ini terus berkembang penambahan beberapa perangkat alat musik lain seperti gong, kendang dan lainnya.
"Dari alunan musik yang sebelumnya monoton sebuah suara suling, berkembanglah menjadi kesenian musik Bali gong suling," ungkapnya.
Untuk diketahui, dua orang generasi awal yang masih bertahan memainkan gong suling saat ini adalah I Ketut Nyantra (76) dan I Nyoman Deker (65).
Menurut penuturan Nyantra, kesenian gong suling di Dauhwaru pertama dibentuk pada tahun 1965. Ketika itu, gong suling diprakarsai oleh beberapa pengelingsir di Lingkungan Dauhwaru.
"Dari sekaa nyucuk atau membuat atap rumah dari buyuk, kumpul-kumpul hingga menjadi sekeha suling," katanya.
Pernah juga suatu masa ketika kesenian gong suling banyak diminati warga yang punya hajatan di rumahnya. Bahkan, sekaa gong suling ini sempat pentas di masa-masa awal helatan Pesta Kesenian Bali (PKB).
"Zaman itu awalnya diberi upah Rp 50 ribu," imbuh Nyoman Deker.
Namun, semua seakan ada masanya. Kini kelompok gong suling ini mengalami krisis regenerasi hingga vakum cukup lama. Personil yang tersisa sudah usia lanjut bahkan ada yang telah meninggal.
Di tengah kondisi itulah, kini muncul secercah harapan untuk membangkitkan kesenian gong suling yang sempat berjaya itu. (*)
(iws/iws)