Perjuangan rakyat Bali dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melahirkan sederet tokoh. Sebut saja tokoh pejuang seperti I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ketut Jelantik, dan tokoh lainnya.
Selain tokoh pejuang laki-laki, tak banyak yang mengetahui peran kaum perempuan Bali dalam perjuangan kemerdekaan RI. Padahal, mereka juga memberikan sumbangsih pikiran dan tenaga yang luar biasa saat era revolusi fisik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai bangsa besar yang menghargai sejarah, peran para tokoh perempuan Bali dalam perjuangan kemerdekaan patut diketahui. Simak tiga tokoh pejuang perempuan asal Bali berikut ini.
1. Ida I Dewa Agung Istri Kanya
![]() |
Ida I Dewa Agung Istri Kanya dikenal sepanjang sejarah Bali sebagai pemimpin pasukan dalam Perang Kusamba pada 1849. Istri Kanya yang lahir pada 1799 adalah putri dari seorang bangsawan yang memimpin di wilayah Kusamba, yaitu Ida I Dewa Agung Putra Kusamba.
Saat itu, Klungkung dipimpin raja Ida I Dewa Agung Sakti. Ida I Dewa Agung Istri Kanya memimpin peperangan di Kusamba, saat Belanda melakukan invasi militer ke Klungkung. Ia berhasil memukul mundur pasukan kolonial Belanda, hingga pimpinan ekspedisi Belanda, jenderal Andreas Victor Michiels, gugur .
Sikap patriotik yang tinggi dan keberaniannya membela tanah kelahiran, membuatnya dijuluki wanita besi. Istri Kanya pantang menyerah, memiliki prinsip bertahan yang kuat sehingga perlawanan terhadap Belanda terus-menerus dilakukan.
Istri Kanya juga dikenal sebagai pemimpin Kerajaan Klungkung. Ia menggantikan ayahnya, Ida I Dewa Agung Putra Kusamba yang wafat setelah menggantikan raja sebelumnya, Ida I Dewa Agung Sakti.
Istri Kanya juga dikenal sebagai pegiat sastra. Tokoh wanita yang memiliki nama lain Dewa Agung Istri Balemas itu telah melahirkan karya sastra, di antaranya Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak.
Ida I Dewa Agung Istri Kanya wafat pada 1868. Kisah perjuangan dan kontribusinya terhadap bangsa ini membuatnya diabadikan dalam catatan sejarah penting perjuangan rakyat Klungkung. Satu buktinya adalah dibangunnya monumen perjuangan di Kusamba yang merupakan tanah kelahirannya.
2. Jro Jempiring
Nama Jro Jempiring tak banyak dikenal khalayak. Meski begitu, sosoknya turut berkontribusi dalam perjuangan merebut kemerdekaan, khususnya di wilayah Bali utara.
Jro Jempiring adalah salah satu pejuang perempuan yang dikenal kuat dan cerdas dalam menyusun taktik perang karena azimnya dilakukan kaum lelaki. Ia tercatat memimpin pasukan dalam Perang Jagaraga, Buleleng, pada 1848-1849 di bawah komando I Gusti Ketut Jelantik.
Selain andal dalam strategi militer, kepiawaian Jro Jempiring dalam mengontrol pasukan berbuah manis dalam Perang Jagaraga I pada 1848. Belanda berhasil dipukul mundur, menewaskan 250 serdadu.
Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa perang itu dimenangkan rakyat Buleleng berkat strategi perang strategi perang 'Supit Surang' (Makara Wyuhana) yang diadaptasi dari cerita Bharata Yudha, penggunaan meriam tradisional (Bedil Bus).
Kemenangan perang Jagaraga itu juga didukung medan wilayah yang berada di dataran tinggi, curam, dan berbukit sehingga sulit ditaklukkan Belanda. Sikap patriotik prajurit Jagaraga yang tinggi juga tak terlepas dari campur tangan Jro Jempiring dalam menyatukan kekuatan tempur meski akhirnya kalah dalam pertempuran kedua pada 1849.
Sosok Jro Jempiring memberikan pelajaran penting tentang semangat juang dan kesetaraan gender. Sebab, Jro Jempiring adalah tokoh perempuan yang rela mengobarkan semangat perang puputan dan ikut terlibat secara fisik.
Untuk mengabadikan jasanya beserta rakyat Jagaraga lainnya, sosoknya dibuatkan monumen di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng. Pada monumen itu, berdiri kokoh patung I Gusti Ketut Jelantik dan Jro Jempiring.
3. I Gusti Ayu Rapeg
Periodisasi perkembangan pendidikan di Bali tidak lepas dari peran sosok perempuan bernama I Gusti Ayu Rapeg. Seperti RA Kartini, Ayu Rapeg juga berjuang untuk kemajuan kaumnya melalui pendidikan.
Ayu Rapeg merupakan perempuan kelahiran Belaluan, Denpasar, pada 1917. Ia bercita-cita agar kaum perempuan Bali mendapatkan pendidikan formal hingga ke jenjang yang tinggi.
Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, I Gusti Ayu Rapeg adalah istri dari Gubernur Bali ke empat, I Gusti Putu Martha. Ia tercatat memulai karirnya sebagai guru Meisjes Vervolg School, semacam sekolah lanjutan untuk perempuan yang didirikan pada masa penjajahan Belanda.
Sebagai seorang pendidik, Ayu Rapeg beserta kawannya dengan gigih mendatangi rumah-rumah penduduk dan menjelaskan tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Ayu Rapeg juga mendirikan organisasi pergerakan modern Putri Bali Sadar untuk meningkatkan harkat kaum perempuan.
Ketika periode masuknya Pendidikan Barat modern sampai masa pergerakan nasional, I Gusti Ayu Rapeg ditugaskan mengajar di Denpasar. Ia menjalankan program pemberantasan buta huruf, kursus kerumahtanggaan dan kebahasaan, menjelang kedudukan Jepang di Tanah Air sekitar tahun 1941.
Perjuangan I Gusti Ayu Rapeg dalam bidang pendidikan telah banyak membawa pengaruh pergerakan kaum perempuan di Bali. Kiprahnya juga dinilai turut menaikkan kemampuan para ibu-ibu untuk membaca dan menulis.
(iws/iws)