Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) memiliki banyak tradisi turun temurun yang hingga kini masih dilakukan. Salah satunya adalah tradisi botatah, menatah bayi berusia lebih dari satu tahun atau sudah pandai berjalan.
Lantas, tahukah detikers apa itu tradisi botatah? Jika belum, berikut detikSumut suguhkan rangkuman informasinya.
Sejarah Tradisi Botatah
Dilansir dari Ditjen Kebudayaan, tradisi botatah menjadi warisan budaya tak benda asal Nagari Lansek Kadok, Pasaman, Sumbar. Tradisi ini sudah ada sejak masa lampau, yakni dari keturunan Yang Dipertuan Padang Nunang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di mana kerajaan ini di bawah panji Kerajaan Pagaruyung, salah satu kerajaan yang pernah ada dalam khazanah sejarah Minangkabau.
Kerajaan Pagaruyung merupakan kerajaan yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14 Masehi di daerah darek (darat) Minangkabau, tepatnya berpusat di Pagaruyung, Batu Sankar. Sewaktu pemerintahan Adityawarman berkuasa, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-15 M.
Hingga kini, tradisi botatah masih dilaksanakan oleh masyarakat di daerah tersebut. Bahkan jika kedua orang tuanya berada di luar daerah itu, seperti Jakarta, Malaysia dan daerah lainnya, tetap melaksanakan tradisi ini selama orang tua dari si anak berasal dari Kerajaan Yang Dipertuan Padang Nunang.
Tradisi botatah mengharuskan untuk menatah tanah anak yang berusia lebih dari satu tahun atau sudah pandai berjalan. Asal mula adat botatah atau jejak tanah hadir, sejak anak raja dijemput ke Pagaruyung. Sesampainya di Rao, dijejakkan anak raja tersebut ke tanah, sebab begitulah adat raja-raja di Pagaruyung.
Nagari Lansek Kadok merupakan bagian dari kawasan Rantau Minangkabau, di mana kawasan ini adalah pinggiran sekaligus pusat daerah perbatasan yang mengelilingi kawasan pusat (luhak nan tigo). Daerah rantau juga disebut sebagai rantau hilie, lantaran wilayahnya berdekatan dengan pantai maupun sungai, juga rantau mudiak.
Di samping rantau hilie, ada dua daerah rantau lainnya yaitu, Lubuk Sikaping dan Rao yang merupakan rantau dari Luhak Agam. Rantau selatan yang merupakan luhak Tanah Datar meliputi Solok, Selayo, Muara Panas, Sawahlunto Sijunjung dan terus ke perbatasan Riau dan Jambi.
Tujuan Tradisi Botatah
Merujuk dari sumber yang sama, tujuan tradisi botatah adalah untuk menatah bayi ke tanah pertama kali, diibaratkan sebagai pertama kali bayi mengenal dunia luar. Dengan tradisi ini bayi dianggap suci dan terbebas dari darah kotor sehingga diperbolehkan ke luar rumah.
Selain itu, terdapat pantangan dalam pelaksanaan tradisi botatah yang harus dihindari. Apabila pantangan ini dilanggar, baik ibu maupun bayi akan selalu mengalami keadaan tidak sehat atau sakit-sakitan serta di percaya dapat menimbulkan kematian bagi bayi.
Perlengkapan yang Diperlukan dalam Tradisi Botatah
Berikut peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam tradisi ini:
1. sirih
2. nasi kunyit
3. minyak manis
4. sodah
5. beras yang dimasak (upiah)
6. bunga tujuh warna, dan
7. emas, emas ini merupakan milik dukun (tukang botatah) tersebut.
Prosesi Tradisi Botatah
Prosesi botatah tidak hanya melibatkan kerabat orang tua dari sang anak, tetapi juga tetangga dan kenalan lainnya. Sebagai persiapan, semua yang terlibat diundang untuk hadir pada hari yang telah ditentukan, untuk menyaksikan dan memberikan doa kepada anak yang akan melaksanakan botatah.
Acara ini diselenggarakan dengan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan, yang bisa beragam dalam skala dan kemewahan tergantung pada kemampuan penyelenggara. Anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan, sering kali mendapat perhatian lebih dibandingkan anak kedua atau ketiga.
Biasanya orang tua penyelenggara juga mengundang tokoh masyarakat setempat, termasuk ninik mamak di nagari tersebut. Undangan ini berfungsi sebagai permohonan izin untuk melaksanakan botatah.
Saat prosesnya melibatkan seorang dukun botatah, yang merupakan keturunan dari keluarga raja dalam nagari tersebut, dengan keahliannya yang diturunkan secara turun-temurun. Botatah biasanya dilakukan pada anak yang baru berusia setahun dan sudah mulai belajar berjalan.
Tradisi ini dilakukan pagi hari dengan persiapan, seperti pemberian inai di tangan dan kaki anak, serta persiapan bahan-bahan yang diperlukan seperti yang telah dijelaskan di atas
Selama upacara adat, anak berjalan di atas tikar yang dihiasi dengan bunga tujuh warna dan upiah. Dibantu oleh sang dukun, anak akan berjalan sebanyak tiga kali sebagai simbol pelatihan berjalan yang baik.
Ritual lainnya meliputi sang dukun membaca mantra untuk si anak dan menggosokkan emas ke bagian kepala, pusat serta kaki. Proses selanjutnya anak akan ditatah dan disiram beras kuning ke kepala anak sebagai simbol pelimpahan rezeki, serta mandi dengan minyak wangi sebagai rangkaian terakhir. Anak dilarang menginjak tanah selama dua hari sejak acara botatah sebagai bagian dari tradisi ini.
Demikian tradisi botatah, menatah anak oleh masyarakat Pasaman. Semoga dapat menambah wawasan detikers ya!
Artikel ini ditulis Indah Mawarni, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(dhm/dhm)