Situs 'Kota China' Tapi Bukan Soal Peradaban China

Secuil Sejarah Kota China di Medan (2)

Situs 'Kota China' Tapi Bukan Soal Peradaban China

Nizar Aldi, Finta Rahyuni - detikSumut
Sabtu, 11 Mar 2023 11:02 WIB
Dokumentasi Situs Kota China
Museum Kotta Cinna atau situs Kota China di Medan. (Ahsanul Hikmah/detikSumut)
Medan -

Siapa tak kenal Laksamana Cheng Ho? Panglima dan 'pelaut' ulung asal China pada abad ke-15 yang telah menjelajah dunia dari ujung Afrika hingga ke Asia, termasuk Indonesia.

Cheng Ho atau Zheng He dikenal sebagai salah satu navigator dan panglima militer Tiongkok terkenal yang memimpin ekspedisi samudra yang besar pada masa Dinasti Ming. Dia memimpin tujuh ekspedisi samudra besar antara tahun 1405 dan 1433, yang membawa armada kapal laut Tiongkok menuju Asia Tenggara, India, Arab dan Afrika Timur.

Ekspedisi tersebut bertujuan untuk memperluas pengaruh Tiongkok dan memperdagangkan barang-barang Tiongkok seperti sutra, porselen, dan teh dengan negara-negara lain. Dalam ekspedisi terakhirnya, Zheng He membawa lebih dari 300 kapal dan ribuan awak kapal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konon, dalam ekspedisinya di Indonesia, Cheng Ho sempat singgah di salah satu wilayah di Medan. Lokasinya di Marelan, yang masuk dalam teritori Kota Medan saat ini.

'Kota China', demikian julukan untuk lokasi yang pernah disinggahi Cheng Ho itu. Jaraknya sekitar 16 km dari pusat Kota Medan.

ADVERTISEMENT
Dokumentasi Situs Kota ChinaGambar Laksamana Cheng Ho di Museum Situs Kota China. (Foto: Ahsanul Hikmah/detikSumut)

Tempat ini menjadi salah satu pusat perdagangan paling strategis di jalur perdagangan Selat Malaka yang terkenal itu. Letaknya di Lembah Deli, pantai Timur Sumatera tempat bertemunya para saudagar dari India, Arab, Afrika, China dan lainnya.

"Ceng Ho, Laksamana Muslim Dinasti Ming, empat kali mengunjungi kawasan ini 1405-1422" demikian tertulis pada dinding bangunan museum di Kota China itu.

Di bawah tulisan 'selamat datang' itu ada gambar sosok Cheng Ho sedang memegang keramik. Dia digambarkan dengan sangat gagah, berjubah khas panglima dari Tiongkok.

Bangunan museum itu nyaris berbentuk tabung. Didominasi warna coklat, dengan jendela berwarna kuning-hijau di lantai dua. Sentuhan budaya China tergambar dari jendela itu.

Museum itu sebagai petanda bahwa di lokasi itu pernah ada peradaban 'lampau' dan sejarah panjang perdagangan lintas negara.

Nama bangunan itu, Museum Situs Cotta Cinna, pada literatur lain disebut Kotta Cinna, namun belakangan lebih dikenal dengan sebutan Kota China.

Saat tim detikSumut berkunjung ke museum itu, 8 Maret 2023, tak ada aktivitas sama sekali di sana. Cuaca panas khas pesisir menyambut, keringat menyeliap dari tengkuk membasahi kulit di jalur tulang punggung. Nyess...

Saat itu siang bolong. Cuaca memang lagi terik, berbeda 180 derajat dibanding sehari sebelumnya yang diguyur hujan deras. Siang itu, keringat yang mengucur deras dari pori-pori, berusaha melawan panas membuat pening kepala itu.

"Maaf ya, abang dan kakak, saya baru pulang kuliah," ujar seorang pria muda, membuyarkan bayangan kami tentang Cheng Ho.

Dia adalah Imran, pria yang kami tunggu selama dua jam di depan gerbang museum itu. Dia lantas membuka gerbang dan mempersilahkan kami masuk.

Imran adalah penjaga museum itu. Mahasiswa itu dipercaya untuk mengurus museum, sekaligus meladeni tamu yang datang.

Di museum ini dipajang berbagai artefak-artefak bernilai tinggi, seperti pecahan keramik, gerabah, koin, emas, arca-arca dewa, hingga batu-batu candi. Tak hanya itu, ada juga berbagai pajangan komoditas ekspor di Kota China, seperti emas, kemenyan, gambir, rotan, lada, gading, dan kayu manis.

Namun, ada yang hal cukup membingungkan dalam museum itu. Pada bagian dinding museum dituliskan bahwa tempat itu bukan bernama 'Kota China', tetapi 'Kotta Cinna'. Lain halnya lagi dengan penulisan di bagian plang yang berdiri di depan museum.

Plang itu malah menuliskan bahwa tempat itu bernama 'Cotta Cinna'. Lalu, yang mana sebenarnya makna yang pas untuk situs itu?

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya...

Kotta Cinna Bukan Soal China, Tapi India

Sejarawan Universitas Negeri Medan, Dr Phil Ichwan Azhari mengatakan museum itu sebenarnya bernama 'Kotta Cinna'. Kata itu berasal dari bahasa India Tamil. 'Kotta' berarti sebuah wilayah atau tempat, sedangkan 'Cinna' berarti kecil atau mungil.

Kawasan Kotta Cinna itu diperkirakan seluas 25 hektare yang diisi oleh orang-orang India Selatan pada abad ke-11. Kotta Cinna itu menjadi pusat transaksi perdagangan internasional.

Masyarakat dari pegunungan akan membawa komoditi mereka untuk dijual di kawasan dulunya diperkirakan seluas 25 hektare itu.

"Ternyata di situ India, bukan China. Jadi, itu Kotta Cinna itu tidak ada mengindikasikan Tiongkok," kata Ichwan.

Ichwan menceritakan di Kotta Cinna itu dulunya ada tiga agama, Hindu, Buddha dan Siwa. Agama Buddha dari Kotta Cinna itulah yang menjadi cikal bakal munculnya agama Budha di China.

Masyarakat China belajar agama Buddha dari Kotta Cinna, lalu dibawa ke China, dan datang lagi ke Indonesia.

Di lokasi tersebut juga tidak ditemukan adanya jejak peradaban masyarakat China pada abad ke-11 itu, sehingga dianggap bahwa penghuni awal Kotta Cinna itu merupakan masyarakat India Selatan. Arca-arca yang ditemukan di Kotta tersebut juga bukan berasal dari China, melainkan India.

Dokumentasi Situs Kota ChinaArca Buddha yang terpajang di Museum Situs Kotta Cinna. (Foto: Ahsanul Hikmah/detikSumut)

Namun, Ichwan mengatakan saat kedatangan India Selatan, sekitaran Kotta Cinna itu tidak kosong, ada warga-warga lokal yang telah lebih dulu tinggal di daerah tersebut. Peneliti beranggapan warga lokal itu merupakan masyarakat Melayu kuno.

Hal itu diperkuat dengan ditemukannya jutaan kerang yang terkubur di lokasi itu. Kerang itu diperkirakan merupakan makanan sehari-hari orang Melayu yang saat itu tinggal di daerah tersebut. Namun, Ichwan menyebut pihaknya masih akan meneliti lebih jauh soal itu.

"Kami sedang membuktikan bahwa jutaan makanan kerang yang tadi itu bukan makanan orang gunung, bukan makanan orang Karo, bukan makanan orang India, kerang itu sampai hari ini masih di makan oleh orang Melayu. Jadi kita menganggap itu merupakan tradisi kuliner orang Melayu," ujarnya.

Kembali lagi ke perubahan pelafalan dari Kotta Cinna ke Kota China. Ichwan mengatakan hal itu terjadi karena perubahan lafal yang dilakukan oleh Belanda.

Setelah peradaban Kotta Cinna runtuh sekitar abad ke 16-17, Belanda pun mulai memasuki daerah tersebut pada tahun 1823. Namun, saat itu, memori tentang sebutan Kotta Cinna itu, tetap ada.

Akibat dari ketidakpahaman Belanda dengan bahasa Tamil tersebut, sehingga pelafalan 'Kotta Cinna' itu berubah. Belanda membuat label baru dengan menyebut tempat tersebut sebagai 'Kota China'.

"Jadi, itu (Kota China) label baru yang dibuat oleh orang Belanda," tegasnya.

Pelafalan 'Kota China' itu pun melekat hingga sekarang. Akibatnya, banyak masyarakat yang menganggap bahwa Kotta Cinna itu merupakan sejarah peradaban dari masyarakat China.

Padahal, sebenarnya, Kotta Cinna itu merupakan peradaban dari masyarakat India Selatan yang pada abad ke-11 datang ke wilayah tersebut untuk urusan perdagangan.

Tim penulis:
Reporter: Nizar Aldi dan Finta Rahyuni
Foto dan video: Ahsanul Hikmah
Editor: Daniel Pekuwali

Halaman 2 dari 2
(dpw/dpw)


Hide Ads