Namanya Ponidi. Kumis dan jenggotnya sudah mulai memutih. Sesekali dia mengusap keringat yang turun dari depan telinga, menyeliap ke pipi dan dagunya.
Dia tinggal tak jauh dari Museum Situs Kotta China di Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan. Dia lahir dan besar di sana, hingga kini usianya mulai masuk masa senja.
Ponidi adalah salah satu dari sekian banyak warga yang kerap menemukan benda-benda peninggalan sejarah di sekitar rumah mereka. Ada koin, kadang ada emas, perunggu, ada yang ketemu pecahan tembikar atau guci, bahkan ada yang menemukan semacam reruntuhan bangunan yang terkubur dalam tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Jauh sebelum Museum Situs Kota China di Medan Marelan dibangun pada 2008 silam, banyak sekali peninggalan sejarah yang ditemukan warga, dijual begitu saja. Bukti-bukti berharga itu banyak dijual kepada kolektor lokal maupun mancanegara atau bahkan pengepul dengan harga murah.
"Barang-barang antik itu langsung 'diambil' orang bule itu," kata Ponirin, membuka cerita kepada tim detikSumut.
Barang antik yang ditemukan warga awalnya dijual begitu saja. Namun sejak adanya museum yang dibangun sejarawan Unimed, Dr Phil Ichwan Azhari, bukti-bukti sejarah itu dibeli dan dipajang di museum sejarah itu.
Kemudian Ponidi mengajak kami untuk mengunjungi struktur bata yang ditetapkan oleh Bobby Nasution sebagai cagar budaya. Ternyata lokasi tersebut berjarak sekitar 400 meter dari museum itu.
Di tengah sengatan matahari pesisir sekitar pukul 14.30 WIB, kami berjalan kaki ke lokasi struktur bata itu. Sepanjang jalan menuju lokasi, Ponidi bercerita soal banyaknya warga yang menemukan barang-barang antik di lokasi tersebut.
![]() |
Mulai dari tembikar, koin, keramik, patung hingga berbagai benda lainnya ditemukan warga. Sebelum tahu tentang keberadaan situs Kotta Cinna itu, warga menjual barang tersebut dengan harga yang sangat murah ke pengepul di daerah Simpang Kantor.
"Dulu murah kali lah dijual warga ini, tembaga-tembaga itu dijual dulu Rp 500 gitu," kata pria bertubuh gempal tersebut.
Pria yang sudah menetap di lokasi tersebut sejak puluhan tahun yang lalu ini bercerita bahwa menemukan barang antik bukanlah hal yang sulit bagi warga di sini. Sebab tidak jarang saat mencangkul atau menggali di sekitar pekarangan rumah, warga menemukan benda-benda peninggalan sejarah yang diyakin ada kaitannya dengan peradaban Kotta Cinna atau Cotta Cinna.
Dilihat dari topografinya, areal tersebut merupakan wilayah payau yang kerap dilanda rob saat pasang. Bahkan rumah warga di sana sering terendam akibat lupain air laut tersebut.
Ponidi menjelaskan selain menemukan benda di sekitar pekarangan rumah warga, terdapat juga beberapa reruntuhan bangunan yang ditemukan.
Misalnya di rumah salah satu warga ditemukan semacam tangga yang melingkar ke bawah tanah. Tangga tersebut berada di sumur rumah warga yang saat itu terlihat membuka warung di depan rumahnya.
Namun karena takut terjadi sesuatu, sumur tersebut akhirnya ditutup oleh warga. Warga menutup bangunan yang diduga tangga tersebut dengan semen.
"Disini ada sumur ada tangganya, cuma sudah ditutup. Nggak tutup habis, jadi ditutup separuh saja," ujarnya.
Selain itu, pernah juga warga saat menggali di samping rumahnya, menemukan bangunan semacam tembok yang memanjang. Setelah digali, tembok tersebut ternyata berbentuk segi empat dengan kedalaman sekitar setengah meter.
Namun karena takut anak-anak terjatuh di lokasi tersebut, warga kemudian menutup lubang itu. Saat ini, di atas tanah tersebut masih belum ada bangunan yang berdiri, rumput dibiarkan begitu saja tumbuh oleh warga.
"Dulu di sini pernah ditemukan semacam tembok gitu, tapi ditutup kembali karena takut anak-anak jatuh ke dalam lubang," ucapnya.
Saat sampai ke struktur bata yang ditetapkan Bobby sebagai cagar budaya, terlihat struktur bata tersebut terendam oleh air payau. Air payau tersebut kata Ichwan bisa mengawetkan struktur yang ditemukan tersebut.
Semak belukar terlihat merambat di sekitar areal yang berukuran 7x30 meter itu. Ada sebuah tenda berdiri di salah satu kubangan air payau tersebut.
Beberapa batu bata yang merupakan bagian struktur bata juga terlihat berada di atas permukaan tanah. Dari penampakan, terlihat ukuran bata tersebut cukup besar dibandingkan batu bata yang ada saat ini.
Ukurannya sebesar dua telapak orang dewasa. Namun karena batu bata tersebut sudah pecah, sehingga panjang aslinya tidak diketahui.
Tidak ada penanda seperti pamflet yang menunjukkan bahwa struktur bata yang terendam air itu adalah cagar budaya. Namun ada potongan besi yang seperti tempat pertapakan pamflet di dekat tenda itu, konon beberapa waktu lalu itu merupakan bekas dari sebuah pamflet yang didirikan oleh Ichwan dan kawan-kawan.
"Nggak ada, kami pun baru tahu kalau sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, memang dulu ada penanda di sini, tapi sudah roboh," kata Ponidi yang juga mengurusi Klenteng yang berada di sekitar struktur bata itu.
Ia pun berharap agar Pemkot Medan lebih memberikan perhatian lebih ke jejak peradaban kuno yang ada di wilayah tersebut. Apalagi Bobby sebagai Wali Kota Medan dinilai kurang memperhatikan keberadaan Situs Cotta Cinna ini.
"Semenjak Pak Bobby, Pak Bobby pun jarang kemari, tidak diperhatikannya," ujarnya.
![]() |
Salah satu warga lain bernama Yeni juga mengaku pernah menemukan benda kuno seperti mangkok, guci hingga patung. Mangkok tersebut kemudian dia jual ke pengepul barang antik saat itu.
"Mangkok , seperti mangkok mie sup warna nya hijau coraknya seperti retak seribu, seperti retak-retak tapi tidak retak," ucap Yeni.
Sejak saat itu, banyak kolektor penjual barang antik yang datang menemuinya dan bertanya apa masih ada barang antik yang dia temukan. Ia juga dulu sering menemukan koin kuno, namun karena saat itu belum mengetahui itu merupakan barang berharga, koin tersebut kemudian dia buang begitu saja.
"Pernah, sering malah tapi karena dikira bukan barang berharga jadi dicampak kemana-mana terakhir hilang, tapi kalau kita lagi bersihkan parit masih sering ketemu koin-koinnya. Koinnya juga masih banyak ditemukan," ujarnya.
Tim penulis:
Reporter: NizarAldi dan FintaRahyuni
Foto dan video: Ahsanul Hikmah
Editor: Daniel Pekuwali
(dpw/dpw)