Kotta Cinna, Jejak Perdagangan Abad ke-11 Sebelum Kota Medan Lahir

Secuil Sejarah Kota China di Medan (1)

Kotta Cinna, Jejak Perdagangan Abad ke-11 Sebelum Kota Medan Lahir

Nizar Aldi, Finta Rahyuni - detikSumut
Sabtu, 11 Mar 2023 10:57 WIB
Dokumentasi Situs Kota China
Peradaban Kotta Cinna atau Kota China di Medan. (Ashanul Hikmah/detikSumut)
Medan -

Ratusan tahun sebelum Kota Medan terbentuk pada 1590, ada satu peradaban yang tak bisa dilepaskan begitu saja dari catatan sejarah. Peradaban itu diyakini tinggal di Kotta Cinna atau Cotta Cinna yang kini dikenal dengan Kota China.

Jangan salah, Kota China, konon bukan tempat tinggal orang-orang China. Jejak sejarah membuktikan, yang paling banyak tinggal di sana adalah orang keturunan India.

Peradaban Kotta Cinna dipercaya ada pada abad ke-11. Saat itu,daerah ini merupakan pelabuhan cukup sibuk di pantai timur Sumatera.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari jejak arkeologi yang ditemukan, Kotta Cinna ini ada pada abad ke-11 yang merupakan pelabuhan untuk perdagangan," kata sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Phil Ichwan Azhari kepada detikSumut, Jumat (10/3/2023).

Dokumentasi Situs Kota ChinaBarang antik dan koin di Museum Situs Kotta Cinna. (Ashanul Hikmah/detikSumut) (Foto: Istimewa)

Ichwan menjelaskan, nama Cotta Cinna atau yang kerap ditulis Kota China ini sudah muncul pada tahun 1823 dalam tulisan Anderson. Namun, keberadaan sebuah peradaban sebagai wilayah perdagangan baru tersingkap pada tahun 1973 saat ditemukannya arca kuno di sekitar lokasi tersebut.

ADVERTISEMENT

Setelah dilakukan berbagai penggalian dan penelitian, akhirnya terungkap sebuah fakta bahwa wilayah tersebut dulunya merupakan pelabuhan dalam perdagangan internasional. Tepatnya pada abad ke-11 hingga abad ke-16.

Kota China sendiri saat ini di masuk dalam teritori Kota Medan, tepatnya di Kecamatan Medan Marelan. Lokasinya di pinggir laut bermuara Sungai Deli, perpaduan apik dan potensial untuk jalur perdagangan.

Arus perdagangan saat itu terjadi di Sungai Deli yang saat ini sudah bergeser secara morfologi sejauh dua kilometer dari jalur Sungai Deli pada saat itu. Kotta Cinna saat itu diduga merupakan kota dengan penduduk yang sangat padat, hal itu dibuktikan dengan ditemukannya jutaan sampah dapur manusia.

Cotta Cinna disebut merupakan titik pertemuan antara orang di pegunungan yang melakukan transaksi dengan saudagar-saudagar dari negeri luar. Berbagai hasil bumi diperdagangkan saat itu, seperti gambir, pala, kemenyan, belerang, kayu manis hingga kapur barus.

Berdasarkan benda-benda yang ditemukan, bangsa Tamil dari wilayah India Selatan menjadi bangsa pendatang yang membangun peradaban di Cotta Cinna. Penduduk asli yang bermukim di wilayah Cotta Cinna diduga merupakan Melayu Kuno pra-Islam.

Arus perdagangan di wilayah Kota China tersebut terus berkembang pesat, sehingga kerajaan asing yang juga bergerak dalam perdagangan melakukan penyerangan. Setidaknya kota diserang sebanyak dua kali hingga akhirnya kota sebagai pelabuhan perdagangan itu musnah di sekitar abad ke-16 atau 17.

"Ada bukti-bukti Cotta Cinna diserang, dibakar dan arangnya itu sudah diteliti di laboratorium. Kemudian ada bukti dia dihuni lagi, artinya setelah diserang, dihuni lagi, dibakar lagi, ketemu lagi arangnya dari dua periode yang berbeda selang 200 tahun," jelasnya.

Penduduk Kota China yang saat itu sempat bertahan dan bergerak naik dari arah pesisir untuk menghindari serangan Kerajaan Aceh tersebut. Mereka mendirikan benteng yang kini dikenal sebagai Benteng Putri Hijau.

Namun meskipun sudah naik ke wilayah hulu dan meninggalkan Kotta Cinna sebagai wilayah perdagangan, kerajaan dari Aceh tersebut tetap melakukan serangan dan akhirnya berhasil menaklukkan wilayah tersebut.

Ichwan dan peneliti lain menduga, Kerajaan Pasai dari Aceh yang menyerang wilayah itu. Invasi tersebut dilakukan untuk menghegemoni perdagangan di Selat Malaka, yang menjadi jalur perdagangan paling sibuk saat itu.

Karena pada serangan pertama, Kotta Cinna bisa bangkit kembali, maka setelah serangan kedua itu, diutuslah Gocah Pahlawan untuk menduduki wilayah tersebut. Namun lokasinya bergeser ke dekat Masjid Al Osmani yang saat ini berada di Medan Labuhan.

Lambat laun Gocah Pahlawan akhirnya mendirikan sebuah kerajaan yang saat ini kita kenal sebagai Kesultanan Deli. Sehingga perdagangan di wilayah tersebut saat itu diambil alih oleh Kesultanan Deli.

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya...

Dari Kotta Cinna menuju Kesawan

Interaksi antara orang pegunungan dengan pesisir atau pelabuhan perdagangan tersebut semakin intens. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi di sekitar Labuhan saja, namun terus naik ke hulu Sungai Deli.

Akhirnya terbentuklah logi-logi perdagangan di sepanjang Sungai Deli. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya makam-makam para pendatang di sekitar Sungai Deli, seperti di Putri Hijau, Jalan Palang Merah hingga ke arah Deli Tua.

Pada tahun 1865, Jacob Nienhuis menjual tembakau deli ke Eropa dengan kualitas yang sangat bagus. Sehingga membuat Raja Willem I dengan perusahaan bernama Nederlandshe Han- del Maatschappij menanamkan sahamnya di perkebunan milik Nienhuis tersebut pada tahun 1869.

Karena intensitas perdagangan di wilayah Medan Labuhan saat itu dinilai tidak sudah sesak, maka dinilai perlu membuat sebuah kota baru. Sehingga dibangunlah pusat kota yang saat ini kita kenal dengan daerah Kesawan.

KesawanKesawan. (Datuk Haris Molana/detikcom)

Maka dibangunlah Lapangan Merdeka, kantor pemerintah, bank, dan berbagai infrastruktur lainnya. Bahkan Kesultanan Deli juga ikut pindah ke Jalan Brigjend Katamso saat ini.

"Pemerintahan itu awalnya di Bengkalis, kresidenannya, pindahlah kemari, ada tingkat ekonomi yang luar biasa dan nggak bisa ditampung oleh Labuhan, mati kita buat kota baru, itulah Kota Medan," ujarnya.

Situs Kotta Cinna tersebut diduga berdiri di areal seluas 25 hektare. Areal tersebut kini berada di lingkungan 7 dan sebagian Lingkungan 9, Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan.

Saat ini di areal tersebut dihuni oleh sekitar 1.000 lebih penduduk. Areal itu terdiri pemukiman hingga area payau.

Pada tanggal 1 Februari 2023 yang lalu, Wali Kota Medan Bobby Nasution menetapkan struktur bata di Kota China atau Cotta Cinna sebagai cagar budaya. Penetapan cagar budaya tersebut diketahui berdasarkan surat keputusan Wali Kota Medan nomor: 433/29.K.

Ichwan mengaku sebenarnya mereka mendorong agar yang ditetapkan sebagai cagar budaya adalah situs atau kawasan, bukan hanya struktur bata. Namun karena sudah belasan tahun berjuang mendorong ditetapkan sebagai cagar budaya, mereka tetap bersyukur. Meksipun demikian, mereka berharap agar ke depan seluruh situs tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya.

"Saya sendiri pun menginginkan penetapannya sebagai kawasan, tapi karena perjuangannya lama sekali, struktur saja pun jadilah," ucapnya.

Sehingga Ichwan menyebutkan harusnya Kota Medan bangga masih bisa menemukan jejak peradaban kuno kotanya. Harus Cotta Cinna tersebut menjadi ikon Kota Medan, bukan hanya pohon trembesi dan bangunan peninggalan kolonial tersebut.

"Jadi, itu situs yang sangat terancam, tapi dia memiliki nilai sangat penting sebagai wilayah yang menyimpan jejak peradaban kota kuno dan kota Medan dan harusnya bangga, Medan menjadi satu dari sedikit kota di Indonesia yang memiliki jejak kuno kotanya. Harusnya itu bisa menjadi ikon kota Medan. Tidak semata-mata hanya pohon trembesi dan jejak kolonial itu," tutupnya.

Tim penulis:
Reporter: NizarAldi dan Finta Rahyuni
Foto dan video: Ashanul Hikmah
Editor: Daniel Pekuwali

Halaman 2 dari 2
(dpw/dpw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads