Jagad maya beberapa waktu terakhir dihebohkan dengan penemuan mayat di Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan. Setelah penelusuran lebih lanjut, polisi menyatakan bahwa mayat di lantai 15 Unpri merupakan cadaver yang didapat secara legal.
"Administrasi yang sudah kami peroleh bahwa itu adalah cadaver yang diperoleh secara legal," kata Kapolda Sumut Irjen Agung Setya Imam Effendi di Polda Sumut, Kamis (14/12/2023).
Terlepas dari isu tersebut, apakah detikers tahu jika cadaver, yakni jenazah manusia yang diawetkan untuk menjadi media pembelajaran anatomi, punya julukan "Guru Besar"? Kenapa bisa begitu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iqbal Waziri dalam Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik Wasiat Jenazah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta (2015), bukan tanpa sebab cadaver menerima julukan sebagai Guru Besar.
Alasan paling utama adalah karena cadaver sebagai media pembelajaran membantu para mahasiswa-mahasiswi kedokteran dalam memahami dan mempelajari anatomi tubuh manusia. Dari mempelajari cadaver tersebut, maka lahirlah berbagai metode-metode pengobatan.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Dr. Anjali C. Dhamangaonkar dalam Cadaver - The Great Teacher yang dipublikasikan di situs King Edward Memorial Hospital.
Dhamangaonkar mengatakan, pepatah yang berbunyi "Orang mati tak bercerita" tidak berlaku di ruang bedah. Sebaliknya, baginya, cadaver merupakan "guru yang mengungkapkan rahasia tubuh manusia dengan membiarkan diri mereka dibedah oleh pisau bedah."
Ia mengimbuhkan, tidak ada satu pun teknik yang mampu mengajari mahasiswa-mahasiswi kedokteran tentang struktur anatomi tubuh manusia maupun menyuguhkan sensasi jaringan tubuh sungguhan sebagus yang cadaver lakukan.
Bahkan, cadaver punya posisi khusus dalam dunia pendidikan kedokteran Thailand. Mereka menyebut cadaver sebagai "ajarn yai" yang berarti 'guru besar'.
Merujuk Winkelmann dan Güldner dalam Cadavers as teachers: the dissecting room experience in Thailand (2004), mayat yang menjadi cadaver akan menerima dua upacara penting.
Upacara pertama berupa doa bersama yang dihadiri mahasiswa, kerabat orang yang meninggal, pihak fakultas, serta biksu sembari melakukan penyerahan karangan bunga ritual. Upacara kedua berupa pengkremasian jasad yang telah dibedah.
Cadaver begitu dihormati di Negeri Gajah Putih sampai-sampai mahasiswa tertentu lebih menghargai mereka ketimbang guru maupun dosen yang masih hidup. Mayat yang menjadi media pembelajaran tersebut bahkan kerap disambut dengan wai, salam khas Thailand.
Adapun penyebutan cadaver sebagai ajarn yai alias "Guru Besar" di Thailand dapat ditelusuri sejak tahun 1930-an. Disebutkan dalam Cadaver - The Great Teacher, pada tahun tersebut, jasad seorang profesor sastra menjadi cadaver pertama di Thailand.
Hal itu ia lakukan atas gagasan "tetap menjadi guru sekalipun maut telah menjemput". Sejak saat itu pula cadaver menerima gelar Guru Besar di Thailand.
(mff/astj)