Universitas Gadjah Mada (UGM) baru-baru ini mengukuhkan dua orang Guru Besar. Menariknya, mereka berdua adalah sepasang suami istri.
Sang suami, Prof drh Agung Budiyanto MP PhD dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Bioteknologi Reproduksi Veteriner Ruminansia pada Fakultas Kedokteran Hewan.
Sementara itu, sang istri yakni Prof Dr drh Agustina Dwi Wijayanto MP dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Farmakokinetik dan Terapi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sama-sama Kaji Permasalahan Hewan
Sebagai sesama dokter hewan, Agung dan Agustina menyampaikan masalah-masalah yang terjadi pada hewan. Agustina mengangkat penelitian berjudul "Peran Farmakokinetik dan Terapi Veteriner pada Kesehatan Global (One Health)".
Menurut Agustina, dalam menyelesaikan suatu kasus penyakit hewan dibutuhkan kerja sama intersektor dan disiplin ilmu. Dalam orasinya, ia menyoroti perihal resistansi antimikroba yang timbul karena penggunaan antibiotik.
"Selama ini pengobatan infeksi pada dunia kedokteran hewan sangat mengandalkan penggunaan antimikroba, padahal dalam Konsep One Health adalah pendekatan komprehensif yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mengatasi tantangan kesehatan global," ujarnya dikutip dari laman UGM, Senin (3/3/2025).
Konsep One Health ini menurut Agustina dapat menangani penyakit zoonosis atau penyakit yang ditularkan antara hewan dan manusia. Contohnya bisa berupa Covid-19, flu burung, sindrom pernapasan akut parah (SARS) hingga rabies.
Adapun farmakokinetik menurut Agustina memberikan kontribusi besar dalam penetapan takaran obat agar kesembuhan hewan optimal. Farmakodinamika veteriner dapat menghambat terjadinya antimicrobial resistance.
"Dari sisi keamanan pangan, peran farmakokinetik veteriner mampu memberikan data terkait kecepatan eliminasi, waktu paruh obat, waktu henti obat, dan menetapkan batas residu maksimum obat-obatan yang digunakan untuk kesehatan hewan agar aman dikonsumsi," katanya.
Populasi Sapi di RI Sulit Meningkat karena Ini
Jika Agustina lebih berfokus pada bidang pengobatan hewan, Agung mengkaji masalah performan reproduksi sapi di Indonesia yang belum baik. Ia melihat Indonesia masih belum mempunyai aplikasi teknologi reproduksi yang maksimal.
Peningkatan populasi sapi pun semakin terhambat lantaran belum banyaknya ahli di bidang peternakan dan kesehatan secara umum. Begitu juga dalam hal sarana prasarana milik peternak yang belum efektif, membuat bisnis peternakan tidak stabil.
Agung menyarankan beberapa upaya dalam pengembangan aplikasi teknologi reproduksi. Di antaranya inseminasi buatan (IB), sinkronisasi estrus, embrio transfer, dan genetik mapping.
"Performan reproduksi didukung kualitas genetik yang jelas dan ditemukannya banyak sandi penanda tingkat fertilitas pada gen tertentu," ujarnya.
Menurut Agung, penelitian soal genetik sapi baiknya dikembangkan lebih luas dan menyasar berbagai spesies. Harapannya agar bisa mempercepat peningkatan ketersediaan daging dan susu nasional.
"Genetik mapping ini bertujuan untuk mengatasi dampak seleksi jangka panjang yang selama ini hanya lebih fokus pada produksi susu, daging dan konformitas sapi tanpa mempertimbangkan faktor genetik," tutur Agung.
(cyu/nwy)