Mantan Ketua DPD PSI Kota Palembang Toni akan melaporkan sejumlah orang yang menyebut dia meminta uang mahar Rp 5 juta saat Pemilihan Legislatif (Pileg) lalu. Dia mengaku sudah menyiapkan beberapa bukti dan saksi yang akan dibawa ke Polda Sumsel atas dugaan pencemaran nama baik tersebut.
"Kita tentunya akan mengambil langkah hukum. Ini sudah pencemaran nama baik. Akan melaporkan oknum-oknum yang menyebarkan fitnah-fitnah ke Polda Sumsel dengan membawa bukti dan saksi-saksi juga sudah siap," katanya kepada detikSumbagsel, Rabu (18/9/2024).
Toni mengatakan oknum yang akan dilaporkannya ke Polda Sumsel atas dugaan pencemaran nama baik itu adalah orang-orang yang sudah berbicara di media dengan menyebarkan berita bohong. Dia juga menyebut oknum tersebut mengancamnya jika tidak diberi nomor urut 1 di Pileg 2024.
"Oknum itu yakni Herry, Thomas Manalu, Tabrani, dan Dedi yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPD PSI Palembang, karena waktu itu sempat ada ancaman dia ngotot ingin nomor 1 dari Dapil 5. Dalam bulan ini kita akan melaporkannya ke Polda Sumsel," ujarnya.
Sedangkan untuk di pusat Toni mengaku sedang mempelajarinya. Sebab, ada beberapa podcast dari DPP PSI yang menyebut PSI Palembang di bawah kepemimpinannya korupsi. Di samping itu, dia juga mempermasalahkan pernyataan Wakil Dewan Pembina PSI Grace Natalie yang menyebutnya melakukan pelanggaran mahaberat.
"Kita sedang mempelajari beberapa kali statement dari DPP, terutama Helmi Yahya yang menyatakan di podcast-podcast bahwa PSI Palembang di bawah kepemimpinan saya korupsi," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Toni menilai surat pemberhentiannya sebagai kader PSI adalah maladministrasi. Sebab, SK yang dikeluarkan saat itu merupakan SK yang sebelumnya sudah dicabut dengan pergantian kepengurusan.
"Terkait dengan SK pemberhentian, itu maladmistrasi PSI," ujarnya.
Toni mengatakan alasan dirinya baru mempersoalkan pernyataan-pernyataan yang menyebut dirinya meminta mahar saat Pileg. Dia baru berniat melapor sekarang karena mempunyai tanggung jawab kepada orang-orang terdekat pada masyarakat.
"Alasannya karena kita punya pertanggungjawaban kepada orang-orang terdekat pada masyarakat, jangan sampai punya persepsi yang salah. Karena jejak digital ini selamanya susah hilang. Jadi, jika kita tidak menegakkan kebenaran maka orang-orang akan percaya pada sesuatu yang salah. Maka lima-enam tahun akan mempercayai soal mahar itu. Ini mau kita hindari," katanya.
Dia mengatakan, saat pemberitaan ramai menyebut meminta mahar sebesar Rp 5 juta, dia tidak ingin memberikan pernyataan karena menghindari keributan dan memilih untuk mundur.
"Kita tidak mau mencari keributan bahkan kita mengalah dengan mengundurkan diri. Tapi setelah sekian lama kita baru merasakan dampak dari jejak digital itu dan mempertanyakan. Jika kita benar maka akan diperjuangkan dan tidak boleh pasif," ungkapnya.
(des/des)