Akademisi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) Dr Martini Idris sesalkan lambatnya penangkapan terhadap Ryan (40). Pasalnya, tersangka pelaku cabul yang melakukan dua kali sumpah pocong tersebut ditangkap setelah hampir setahun dilaporkan.
"Tentu ini jadi preseden bagi penyidik, contoh yang buruk bagi penyidik, bobroklah hukum. Apalagi itu menyangkut anak, yang memang harus dilindungi, jadi memang undang-undang spesial yang mengatur ketika anak-anak itu disakiti," ungkap salah satu Pengamat Hukum Sumsel, Dr Martini Idris, Sabtu (27/5).
Sekalipun penyidik memiliki pertimbangan untuk tidak menahan Rian sejak setahun lalu dengan alasan tersangka kooperatif, rutin melakukan wajib lapor hingga sulitnya penyidik mengumpulkan alat bukti, hal itu tentu tetap tidak dibenarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena, menurut Martini banyak cara penyidik untuk menuntaskan kasus seperti tersebut tanpa harus menunggu setahun lamanya, seperti dengan menghadirkan saksi ahli pidana.
"Soal sulitnya mengumpulkan alat bukti, itu tak jadi alasan, yang namanya pelecehan itu kan melalui visum yang salah satunya alat bukti surat. Tanpa saksi yang melihat dan mendengar kejadian itu, dengan hasil visum itu pun cukup untuk memenjarakan seseorang," jelasnya.
Menurut Martini penyidik bisa menghadirkan saksi ahli pidana.
"Banyak jalan jika memang serius menangani kasus itu, kenapa harus sampai setahun," katanya.
Karena ia menilai kejanggalan penanganan di kasus ini terlihat jelas, menurutnya, sudah sepantasnya penyidik tersebut dilaporkan ke Propam dan dimintai klarifikasi.
Klarifikasi tersebut guna mempertanyakan pertimbangan apa diambil sehingga tersangka kekerasan seksual terhadap anak bisa bebas berkeliaran setahun lamanya.
"Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi, terjadi kepada tersangka-tersangka (cabul) lainnya. Dan penyidiknya wajib dilaporkan ke Propam agar tahu bahwa apa alasan dia itu, biar bisa dipertanggungjawabkan oleh penyidik itu. Keluarga korban juga harusnya tak tinggal diam dan harus menggandeng pengacara," katanya.
Jika nantinya, penyidik di kasus itu tak segera ditindaklanjuti oleh yang berwenang dalam hal ini Bid Propam Polda Sumsel, lanjutnya, justru kejadian ini tentunya akan menjadi senjata untuk membela diri bagi tersangka-tersangka cabul lainnya.
"Kalau yang seperti ini dibiarkan, pasti akan menjadi yurispruden (acuan) bagi kasus yang sama, menjadi bahan acuan bagi tersangka-tersangka lainnya di kasus serupa," katanya.
"Sebenarnya pelaku pencabulan terhadap anak itu tidak perlu diberikan penangguhan penahanan dengan alasan apapun, kecuali itu hak penyidik terkait pertimbangan hukum, seperti dia tidak membahayakan, tidak melarikan diri, ada yang menjamin atau dalam keadaan sakit keras. Tapi, balik lagi ke undang-undang nomor 35 tahun 2014 Pasal 76E, kalau dia dibiarkan berkeliaran, kan bisa saja ada korban lagi, kan begitu, jadi patut kita curigai," sambungnya.
Menurutnya, lantaran tersangka belum merasakan ditahan, sehingga ia menilai sifat asli tersangka sendiri belum diketahui penyidik.
"Karena tidak ditahan, dia kan belum di BAP sepenuhnya, belum dilihat saat dia dilakukan penahanan, bagaimana sifat asli seorang penjahat itu akan kita lihat saat dia dalam keadaan menderita, dimana penderitaan secara psikologisnya? ya saat dia ditahan, itu pasti akan terlihat," katanya.
"Anak-anak itu kan dilindungi undang-undang, jika terjadi kekerasaan seksual dan sudah ada bukti visum dan keterangan dari korban atau saksi, itu sudah cukup menjadi dasar polisi untuk menahan pelaku. Apalagi, ini pelaku sudah statusnya tersangka, tentu sebelum menetapkan tersangka polisi juga sudah melakukan gelar perkara," katanya.
(bpa/bpa)