Warga Sumatera Selatan mulai merasakan teriknya matahari di siang hari. Hal ini merupakan pertanda masuknya musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya dan bisa berpotensi besar memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Berdasarkan pemutakhiran data iklim, sebanyak 11 dari 14 Zona Musim di Sumatera Selatan, atau sekitar 79% dari total wilayah Sumatera Selatan, telah memasuki musim kemarau sejak dasarian I Juni 2025.
"Kami mencatat hari tanpa hujan (HTH) terpanjang tercatat di ARG Batu Lintang, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, yaitu selama 15 hari," ujar Kepala Stasiun Klimatologi Sumatera Selatan, Wandayantolis, Rabu (23/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Wandayantolis, fenomena ini bukan sekadar catatan iklim. Ini sinyal awal yang harus dipahami masyarakat dan semua pihak. Musim kemarau bukan hanya tentang panas, tapi juga risiko besar Karhutla yang bisa merusak hutan, kebun, bahkan mengganggu aktivitas harian.
"Meskipun sempat terjadi periode basah pada awal Juli 2025, tetapi secara umum curah hujan di hampir seluruh wilayah Sumatera Selatan sudah di bawah 50 mm per dasarian. Kecuali di sebagian kecil wilayah Ogan Komering Ulu (OKU) dan Ogan Komering Ilir (OKI)," katanya.
Wandayantolis menyebut saat ini, HTH masih berada dalam kategori sangat pendek (1-5 hari). Namun, seiring dengan penurunan curah hujan, durasi HTH diprediksi akan semakin bertambah.
"Kondisi ini berpotensi meningkatkan kejadian hotspot dan risiko karhutla di wilayah Sumatera Selatan," ujarnya.
BMKG pun mengimbau kepada masyarakat untuk menghindari pembakaran lahan, menghemat penggunaan air, mengakses kanal resmi BMKG untuk informasi cuaca dan iklim terkini, serta mengikuti arahan juga imbauan dari pemerintah daerah setempat terkait pencegahan karhutla.
"Musim kemarau memang tak bisa ditolak. Tapi dengan kesadaran dan kewaspadaan bersama, Sumsel bisa melewatinya tanpa harus terbakar," pungkasnya.
(dai/dai)