Mayor Syafrie Rachman gugur di tangan PKI usai Kapal Motor Bea Tjukai (KM BT) 32 yang ditumpanginya disabotase di Selat Bangka. Adik Mayor, Prof Bustami Rahman menceritakan kisah tragis yang dialami sang kakak tersebut.
Kematian sang Mayor bermula ketika akan menghadiri undangan dari Gubernur Abujazid Bustomi di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), pada 30 Juli 1965. Kala itu, Syafrie gugur saat menjabat Bupati Bangka 1963-1965.
Kapal KM BT bernomor lambung 32 terbakar setelah disabotase oleh PKI di Selat Bangka. Tujuannya jelas, menghabisi nyawa sang Mayor karena tidak mau mengakomodir kepentingan dan keinginan orang-orang PKI kala itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syafrie Rachman masuk dalam daftar pahlawan asal Provinsi Bangka Belitung (Babel). Hal ini tak lepas dari perjuangannya merebut kemerdekaan RI pada 1945. Ia merupakan kakak dari tokoh terkenal Babel, Prof Bustami Rahman dan Rusli Rahman.
Adiknya, Bustami Rahman mengkisahkan detik-detik kematian tragis sang kakak yang pada saat itu menjabat Bupati Bangka. Ia menyebut di jenazah Mayor Syafrie terdapat luka memar di samping telinga.
"Iya betul (ada luka memar akibat pukulan dari PKI). Diduga, karena itu niat jahat dan takut Pak Syafrie selamat, kemudian dipukul dengan besi di belakang kepalanya, samping telinga," jelas Bustami Rahman kepada detikSumbagsel, Minggu (29/9/2024).
Bustami menyebut, Mayor Syafrie gugur setelah kapal yang ditumpangi disabotase oleh PKI. Kala itu, Syafrie menuju Palembang bersama istrinya, Nik Kurniasih dan rombongan serta tim kesenian.
"Kapal KM BT-32 itu dibakar (disabotase) oleh PKI, fakta dan data hukumnya ada di pengadilan. Kapal tersebut sengaja disetel agar konslet, jadi seakan-akan konsleting, padahal sebenarnya telah direncanakan," ujarnya.
"Setelah berjalan beberapa jam, kapal panas dan memancarkan api. Kemudian terbakarlah kapal itu, ditambah di sana juga sudah disediakan bensin," sambungnya.
Kala itu, kapal terbakar hebat. Kapten dan anak buah kapal (ABK) yang sudah merencakanan hal itu kemudian berteriak agar para penumpang meloncat ke air. Kapal itu merupakan kapal boat, tidak ada sekoci dan pelampung (pengakuan saksi).
"Mereka (penumpang) berloncatan, kakak saya ini menolong istrinya dulu, mereka berdua. Istrinya (Kurniasih), pakainya sudah dibuka, maaf saat itu tinggal mengenakan pakaian dalam dan celana, lalu disuruh terjun dulu," ujarnya.
Bustami mengatakan, meskipun kakaknya itu dari angkatan darat (AD), Syafrie pernah bergabung dengan Angkatan Laut Surabaya. Tentunya, Mayor Syafrie punya keahlian berenang dan menyelam. Tapi berdasarkan pengakuan istrinya, Syafrie ketika di air tampak terlihat tak berdaya.
"Menurut cerita istrinya, pada saat istrinya mumbul (naik ke permukaan), suaminya ini (Mayor Syafrie) terlihat megap-megap. Hanya menyampaikan kata-kata 'jaga anak-anak kita' habis itu tidak sadarkan diri," jelasnya.
"Kakak saya ini berpegangan pada istrinya, bisa ngapung karena pakaian dalamnya tebal. Yang lain ini sudah pada menyelamatkan diri masing-masing, kondisi saat itu malam hari, kemudian gelap, angin dan arus deras," sambungnya.
Mayor Syafrie yang saat itu telah meninggal dunia hanyut bersama istrinya. Tek berselang lama, kapal-kapal nelayan datang dan menyelamatkan keduanya.
"(Mereka) hanyut puluhan meter dari kapal itu, kemudian ada kapal nelayan yang menolong dua suami istri. Istrinya selamat, namun beliau meninggal di tempat. Jadi waktu pas dibawa ke Mentok itu sudah jenazah," tegasnya.
Ia mengatakan, jika sebelum didorong ke laut oleh orang-orang PKI, Mayor Syafrie terlebih dulu dipukul dengan besi. Hal itu juga diakui oleh ABK di pengadilan.
"Syafrie dipukul dengan besi di belakang kepalanya. Saat jatuh saja, saya kira sudah pingsan atau koma. Kemudian didorong ke laut. Itu terbukti dalam pengadilan, ABK tidak satupun meninggal. Jadi semuanya (ABK) dijadikan saksi, dijadikan terdakwa dipersidangan dan mengakui peristiwa itu," katanya.
Jenazah Mayor Syafrie Rachman kemudian dievakuasi ke Rumah Dinas Bupati Bangka waktu itu. Ibu sang mayor Muzaimah pingsan melihat ankanya sudah terbujur kaku.
Saat itu, Prof Bustami masih kelas 1 SMP. Setelah mendapat kabar, dia datang ke rumah dinas bersama kakak-kakaknya yang lain didampingi ayahnya, Abdul Rahman Ilyas. Sedangkan, ibunya malam itu tidur di rumah dinas karena menjaga 7 cucunya atau anak dari Mayor Syafrie.
"Ibu saya semalaman pingsan di kamar tidurnya. Beliau sadar setelah mendengar tembakan salvo keberangkatan jenazah ke makam pahlawan, ibu terbangun karena bunyi tembakan itu," tambahnya.
Selain Mayor Syafrie, penumpang lain di kapal itu yakni Ny Saleh Zainuddin (istri Wali Kota Pangkalpinang) Ny Aisyah, Itjan Saleh (Jaksa), Surya Mahyudin dan Indra Mahyudin (putera Kajari), Temmy Iskak dan T Sarumpaet, juga meninggal dunia dalam peristiwa nahas tersebut.
Sementara, istri Mayor Syafrie, Nik Kurniasih, Komandan Kodim Bangka Tafsil Chotob, dan istrinya serta sepuluh anggota rombongan selamat.
(csb/csb)