Kisruh Lahan Sawit di Belitung, Walhi Babel Nilai Negara Lalai

Bangka Belitung

Kisruh Lahan Sawit di Belitung, Walhi Babel Nilai Negara Lalai

Deni Wahyono - detikSumbagsel
Rabu, 30 Agu 2023 13:32 WIB
11 tersangka perusakan aset PT sawit di Belitung saat digiring ke Mapolda Babel.
Foto: Istimewa
Pangkalpinang -

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti konflik agraria di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Walhi menyebut konflik tersebut melibatkan 11 perusahaan sawit yang ada di Kabupaten di Babel.

Terbaru, konflik itu menyebabkan kerusakan pada aset perusahaan sawit di Belitung dan 11 warga ditersangkakan.

Berdasarkan data Walhi Babel, luas wilayah sengketa dengan perusahaan perkebunan sawit diperkirakan mencapai 3.770 Hektare. Data ini dari tahun 2018 hingga 2023.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Luas lahan itu tersebar di Kabupaten Belitung, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka, dan Kabupaten Bangka Barat. Sementara berdasarkan hitungan kasus total ada 11 kasus yang melibatkan 11 perusahaan sawit dengan jumlah 25 desa terdampak, termasuk kasus terakhir yakni PT Foresta Lestari Dwikarya.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Babel, Jessix Amundian menyebut, penyebab terjadinya konflik ini diduga kuat dampak dari ekspansi perusahaan sawit yang merambah wilayah kelola masyarakat. Di antaranya rimbak atau hutan kampung, belukar (hutan) lama, termasuk areal wilayah adat.

ADVERTISEMENT

Mereka juga menyebut, perusahaan sawit di Babel ini tidak patuh menjalankan kewajiban Plasma dan Corporate Social Responsibility (CSR). Ditambah lagi ada dugaan perusahaan kebun sawit menyerobot lahan di luar HGU. Hal ini justru semakin memperkeruh konflik agraria.

"Kami melihat, sebelum UU Cipta Kerja, konflik agraria sektor perkebunan ini masih dapat terfasilitasi oleh pemangku kebijakan di tingkat lokal meskipun tidak sepenuhnya terselesaikan. Namun, sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, kewenangan beralih ke pusat dan penyelesaian menjadi berlarut," jelas Jessix Amundian kepada detikSumbagsel, Rabu (30/8/2023).

Menurut Jessix, konflik agraria di Bangka Belitung ini sudah berlarut-larut. Hal ini jelas memperlihatkan pengawasan tata kelola sumber daya alam di sektor perkebunan sangat buruk.

"Catatan Walhi Kepulauan Bangka Belitung, kepulauan yang luas daratannya hanya 1,6 juta hektare, hampir 1,2 juta hektare dikuasai industri ekstraktif-monokultur skala besar," katanya.

Jessix memerinci, misalnya perkebunan sawit (170.000 Ha), pertambangan (1.007.372,66 Ha), hutan tanaman industri (204.000 Ha), dan tambak udang (1.430 Ha).

Adapun persoalan lingkungan lainnya adalah sebaran lahan kritis (167.104 Ha), belum termasuk wilayah perairan laut.

Melihat konflik wilayah lahan kelola rakyat yang terus berlarut-larut, Walhi Babel menagih komitmen negara menjalankan reforma agraria. Yakni Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang mewajibkan pemerintah melakukan penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria, serta penataan penguasaan dan pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria.

"Seharusnya melalui skema perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (TORA), konflik agraria di Kepulauan Bangka Belitung dapat diselesaikan. Memberi rasa aman, kesejahteraan masyarakat meningkat dan sebagai upaya pemulihan lingkungan," katanya.

Lanjutnya, termasuk berlarutnya penyelesaian konflik agrarian masyarakat dari 6 desa di Kecamatan Membalong Kabupaten Belitung, dengan PT Foresta.

"Walhi Kepulauan Bangka Belitung menilai bahwa negara lalai dalam penanganan Konflik Agraria dan menagih negara untuk segera melakukan pemulihan dan pemenuhan hak rakyat atas lingkungan," tegas Jessix.

Adapun rekomendasi Menagih Pemulihan dan Pemenuhan Hak Rakyat tersebut sebagai berikut:

1. Meminta BPN, KLHK, dan BKPM untuk membuka data HGU, tata batas kawasan dan perizinan perusahaan perkebunan sawit ke publik.

2. Meminta perusahaan untuk menjalankan kewajibannya atas plasma berikut kewajiban lainnya yang diatur oleh undang-undang.

3. Meminta Negara menyelesaikan tapal batas adminstratif desa (kampung) secara definitif.

4. Meminta Negara memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban-kewajibannya seperti Plasma dan CSR serta tanggung jawab terhadap lingkungan.

5. Meminta Negara segera mengakui dan menetapkan wilayah kelola rakyat melalui skema perhutanan sosial dan tanah objek reforma agrarian (TORA).

6. Kembalikan wilayah adat yang menjadi HGU perusahaan sawit, seperti wilayah adat Suku Mapur.

7. Meminta Negara mengusut tuntas kejahatan lingkungan, seperti kebun perusahaan sawit yang berada di luar HGU, penyerobotan lahan masyarakat, wilayah adat dan pencemaran DAS.

8. Negara harus membuka ruang-ruang dialog terkait upaya penyelesaian konflik perkebunan dengan tujuan pemulihan dan pemenuhan hak rakyat atas lingkungan.

9. Meminta Negara membebaskan 11 orang petani di Kecamatan Membalong yang ditangkap dengan pendekatan restorative justice.




(des/mud)


Hide Ads