Maulid Nabi merupakan tradisi perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang kerap dimeriahkan dengan berbagai kegiatan. Tradisi tersebut umumnya diperingati sepanjang bulan Rabiul Awal dalam penanggalan kalender Islam/Hijriah.
Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, perayaan Maulid Nabi sangat identik dengan kuliner khas kaddo minyak. Kaddo minyak atau yang biasa disebut juga sebagai sokko terbuat dari beras ketan.
Kuliner tradisional ini biasanya disajikan dengan beragam warna, seperti hitam, putih, dan juga kuning. Dalam penyajiannya, kaddo minyak akan didampingi dengan telur rebus sebagai lauk pauknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Filosofi Kaddo' Minyak dan Kaitannya dengan Perayaan Maulid
Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, kaddo minyak dianggap sebagai simbol kekuatan. Hal ini dikarenakan mulai dari penanaman berasnya hingga diolah menjadi kaddo minyak ini dibutuhkan kekuatan.
Tak hanya bagi pembuatnya saja, orang yang memakan kaddo minyak juga dianggap akan diberikan kekuatan.
"Kaddo minyak itu menjadi simbol kekuatan. Mulai dari penanaman sampai menjadi beras itu butuh kekuatan untuk mendapatkan beras. begitu pun untuk orang yang memakannya juga akan menjadi kuat, karena dengan memakan kaddo minyak itu orang mampu mendapatkan energi," terang Firman Saleh, Dosen Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin kepada detikSulsel Senin (16/9/2024).
Sementara itu, lauk pauk pada kaddo minyak', yakni telur dianggap sebagai simbol persatuan. Menurut Firman Saleh, kegiatan Maulid Nabi ini dilakukan masyarakat secara bersama-sama, kemudian mereka akan berkumpul dalam perayaan ini yang berarti mereka akan menjadi satu.
"Kalau telur itu jadi simbol persatuan. Jadi, Masyarakat melaksanakannya bersama-sama, bergotong royong, kemudian dalam pelaksanaannya pun mereka berkumpul. Sehingga telur ini menjadi simbol persatuan," tambahnya.
Lalu, mengapa kaddo minyak identik dengan perayaan Maulid?
Sebelum masuknya agama Islam ke Sulsel, kaddo minyak merupakan makanan khas yang sering dihidangkan sebagai sesajian dalam perayaan tradisi masyarakat Bugis-Makassar. Pada masa itu masyarakat Bugis yang menyajikan kaddo minyak untuk diberikan kepada makhluk-makhluk yang dianggap menguasai dunia bawah (mappano) dan dunia atas (mappanre).
Kaddo minyak yang telah disajikan nantinya akan ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat. Namun, dalam pandangan Islam, tradisi tersebut dianggap tidak baik karena membuang-buang makanan (mubazir).
Dengan demikian, para kyai yang mengetahui adanya adat atau pelaksanaan tradisi-tradisi masyarakat di Sulsel seperti itu, ingin memadukan dengan ajaran Islam yang mereka bawa.
"Jadi, para penyiar agama melihat tradisi itu. Oh, ini cocok untuk agama yang mereka sebarkan. Sehingga apa yang mereka bawa itu berterima, makanya dipadukan apa yang mereka bawa," ujar Firman.
Dari sinilah kemudian terjadi akulturasi budaya Bugis dan Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam diterima baik oleh masyarakat tanpa mengubah budaya mereka.
"Dia menggabungkan antara budaya Islam dengan budaya lokal. Supaya itu berterima di masyarakat kita,"katanya.
Demikianlah ulasan tentang filosofi kaddo minyak lengkap dengan keterkaitannya dengan perayaan Maulid Nabi. Semoga bermanfaat, detikers!
(urw/alk)