Kaddo minyak dan songkolo atau sokko' merupakan makanan tradisional yang sudah sangat melekat dengan tradisi Bugis-Makassar. Sejak dulu, kedua makanan tersebut dijadikan sebagai hidangan atau sesajen di berbagai perayaan di masyarakat Sulsel.
Pada dasarnya, kedua makanan ini sama-sama terbuat dari olahan beras ketan dan santan. Meskipun bahan dan dasar dan tampilannya sama jika dilihat sekilas, ternyata keduanya memiliki perbedaan.
Perbedaan Kaddo Minyak dan Songkolo
Dosen Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Firman Saleh menjelaskan secara istilah kaddo minyak dan songkolo sebenarnya sama saja. Keduanya merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perbedaan keduanya terlekat pada istilah. Dalam bahasa Makassar, makanan tradisional tersebut disebut sebagai songkolo, sementara dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah kaddo minyak atau sokko'.
"Ya, sama. Kalau dalam bahasa Makassar itu songkolo. Kalau dalam bahasa Bugis itu sokko' atau kaddo minyak," terangnya.
Sementara itu, mengutip buku "Kuliner Tradisional Pada Upacara Adat di Sulawesi Selatan" yang diterbitkan Kemendikbud, disebutkan bahwa sokko' dan kaddo minyak adalah dua makanan tradisional yang berbeda. Hal ini dikarenakan dalam proses masaknya, sokko' tidak menggunakan bumbu, sedangkan kaddo' minnya' dibuatkan bumbu khusus.
Sokko' diketahui memiliki 4 macam warna, yakni sokko' pute (putih), sokko' bolong (hitam), sokko' cella (merah), dan sokko onnyi (kuning). Sokko' onnyi merupakan sokko' berwarna putih yang diberi kunyit dan dicampur dengan bumbu dapur lainnya.
Sokko' yang diberi bumbu inilah yang kemudian dikenal sebagai kaddo minyak. Selain dari kunyit, kaddo minyak juga terbuat terbuat dari olahan kelapa yang dimasak lama hingga mengeluarkan minyak.
Cara Pembuatan Kaddo Minyak
Secara umum, proses pembuatan kaddo minyak dilakukan dengan cara dikukus. Namun, dalam tradisi masyarakat Bugis, ada tahap unik dalam pembuatannya yang disebut sokko' bampa atau sokko' yang dipukul.
Setelah sokko' dianggap matang, hidangan ini akan dipukul menggunakan sodet kayu berukuran panjang.
"Oh iya, ada yang menarik itu di masyarakat kita karena pada saat songkolo ini dianggap sudah matang, itu dipukul. Dipukul menggunakan seperti sodet yang terbuat dari kayu besar panjang," kata Firman Saleh.
Adapun teknik pemukulan ini bertujuan untuk membuat teksturnya lebih rapat dan padat. Selain itu, sokko' bampa juga menjadi simbolis kerja sama dan gotong royong yang dilakukan masyarakat Bugis-Makassar.
"Sebenarnya fungsinya untuk merapatkan. Untuk membuat songkolo itu lebih rapat dan padat," katanya.
"Tapi disitu sebenarnya ada menyiratkan nilai-nilai di dalamnya. Dengan melakukan itu kan dilakukan kerja sama dan gotong royong," tambahnya.
Menurut masyarakat Bugis, kaddo minyak yang sudah dipukul rasanya juga lebih enak saat dimakan.
"Menurut masyarakat sih lebih enak setelah dipukul,"ujar dosen Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin tersebut.
Kaddo Minyak dalam Perayaan Maulid Masyarakat Bugis-Makassar
Kaddo minyak dikenal sebagai hidangan yang selalu ada di setiap perayaan-perayaan tradisi masyarakat Bugis-Makassar. Tak terkecuali dalam perayaan Maulid Nabi.
"Semua wilayah yang ada di masyarakat Bugis-Makassar tetap menghadirkan itu. Maksud saya, ekspresi perayaannya yang berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya menggunakan kapal, meskipun isinya tetap ada kaddo minyak dan telurnya," jelas Firman Saleh.
Salah satu perayaan Maulid Nabi yang menyajikan kaddo minyak adalah tradisi Maudu Lompoa di Desa Cikoang, Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Maudu Lompoa di Desa Cikoang dikenal paling meriah dan selalu diselenggarakan secara besar-besaran.
Melansir Skripsi Universitas Hasanuddin yang berjudul "Makna Penghargaan dalam Ritual Maudu Lompoa di Desa Cikoang Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar", Maudu Lompoa di Desa Cikoang pertama kali dilaksanakan pada 12 Rabiul Awal di bawah pohon asam tahun 1925 Masehi. Perayaan ini dipimpin langsung oleh Syekh Jalaluddin dengan sederhana.
Acara tersebut menghidangkan sajian yang cukup sederhana seperti kaddo minyak atau nasi ketan yang dilengkapi dengan lauk ayam goreng. Kemudian diadakan ritual pembacaan barzanji dan surah-surah dari Al-Quran.
Hingga saat ini, tradisi tersebut terus berkembang dengan besar dan kaddo minyak tetap menjadi hidangan yang tidak pernah absen dalam perayaan Maudu Lompoa tersebut.
(urw/hmw)