Tradisi Maudu Lompoa merupakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang menyajikan perpaduan ritual-ritual keagamaan dengan budaya masyarakat lokal suku Makassar. Tradisi ini berasal dari sebuah desa bernama Cikoang yang terletak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Selain digelar di Desa Cikoang, tradisi Maudu Lompoa ini kerap dilaksanakan di beberapa wilayah di Sulsel. Namun tradisi Maudu Lompoa di Desa Cikoang menjadi yang paling meriah dan diselenggarakan secara besar-besaran.
Tradisi Maudu Lompoa di Desa Cikoang menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung karena keunikan dan kemeriahan penyelenggaraannya. Dibutuhkan setidaknya 40 hari untuk mempersiapkan Maudu Lompoa sampai ke puncak acara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi detikers yang penasaran, berikut ulasan terkait tradisi Maudu Lompoa yang dihimpun detikSulsel dari berbagai sumber. Yuk, disimak!
Apa Itu Tradisi Maudu Lompoa?
Tradisi Maudu Lompoa merupakan tradisi peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW di Desa Cikoang, Takalar yang penyelenggaraannya masih sangat kental dengan nilai-nilai adat lokal. Secara etimologis, Maudu Lompoa terdiri dari dua kata yaitu Maudu yang berarti maulid dan Lompoa berarti akbar.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Maudu Lompoa adalah upacara perayaan maulid nabi Muhammad secara besar-besaran oleh masyarakat di Desa Cikoang. Saking meriahnya perayaan ini, masyarakat mengusung Maudu Lompoa bahkan lebih besar dari Hari Raya Idul Fitri.[1][2]
Prosesi perayaan Maudu Lompoa dirayakan oleh masyarakat dengan mengarak replika perahu Pinisi yang dihias dengan beraneka ragam kain sarung. Replika tersebut kemudian dipamerkan di tepi sungai Cikoang untuk dilihat oleh masyarakat dan wisatawan yang berkunjung.
Tradisi ini rutin dilakukan oleh masyarakat karena memiliki arti penting yang sudah dianggap sebagai keharusan. Peringatan kelahiran Nabi Muhammad yang dirayakan dianggap sangat sakral oleh masyarakat lokal.
Masyarakat meyakini kelahiran nabi Muhammad membawa kebenaran yang mutlak dipegangi. Kelahiran Rasulullah SAW juga dianggap sebagai isyarat kemenangan sehingga harus diwujudkan dalam penguatan cinta melalui tradisi Maudu Lompoa.[1]
Namun, lebih daripada itu perayaan ini mengandung makna spiritual/keagamaan sampai strategi mempertahankan identitas di tengah arus globalisasi budaya asing. Menjelang 12 Rabiul Awal, masyarakat Desa Cikoang bahkan rela mengorbankan apa saja yang dimiliki demi mewujudkan acara Maudu Lompoa.
Terlebih lagi, tradisi ini sudah dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat lokal. Para sanak keluarga yang merantau akan berusaha kembali ke Desa Cikoang untuk menggelar Maudu Lompoa. Oleh karena itu, tradisi ini sangat berarti bagi masyarakat setempat karena menjadi ajang berkumpul sanak keluarga sekaligus pengobat rindu.[1][2]
Rangkaian Prosesi Maudu Lompoa
Tradisi Maudu Lompoa terdiri dari serangkaian prosesi yang harus dijalankan oleh warga setempat. Terdapat sejumlah tahapan yang dipersiapkan selama 40 hari sebelum acara puncak.[3]
Sebelum masuk ke perayaan puncak, masyarakat melaksanakan Maudu Ca'di atau maulid kecil pada 12 Rabiul Awal yang diyakini sebagai hari lahir Nabi Muhammad SAW. Maudu Ca'di ini juga disebut dengan Maudu 12 karena bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal.
Perayaan tersebut dilaksanakan sampai pada tanggal 28 Rabiul Awal. Sementara Maudu Lompoa yang merupakan puncak acara akan dilaksanakan pada tanggal 29 Rabiul Awal.
Tahun 2023 ini, perayaan Maudu Lompoa akan dilaksanakan oleh masyarakat Cikoang pada tanggal 15 Oktober. Maudu Lompoa ini menjadi perayaan yang paling ramai dan sebagai penutup dari perayaan Maulid Nabi di Cikoang.
Prosesi perayaan Maudu Lompoa secara garis besar dikategorikan ke dalam dua tahap yaitu persiapan dan pelaksanaan. Tahap persiapan terdiri dari empat prosesi mulai dari mandi-mandi Safar, pengurungan ayam, penjemuran padi, dan pengisian bakul.
Sementara itu, tahap pelaksanaan terdiri dari tujuh langkah-langkah yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Berikut penjelasan kedua tahap tersebut:
Tahap Persiapan Tradisi Maudu Lompoa
1. Mandi-mandi Safar (A'jene-jene Sappara)
Mandi-mandi safar dalam bahasa Makassar disebut A'jene-jene sappara. Tahap ini dilaksanakan satu bulan sebelum pelaksanaan Maudu' Lompoa yang dikhususkan untuk warga laki-laki.
Para warga laki-laki di Desa Cikoang akan turun ke sungai Cikoang untuk mandi. Mandi-mandi tersebut dilakukan dalam rangka membersihkan diri dalam menyambut kedatangan hari Maudu Lompoa.[1]
2. Pengurungan Ayam ( Anynyongko Jangang)
Anynyongko jangang atau pengurungan ayam dilakukan setelah prosesi mandi-mandi bulan safar. Masyarakat akan mengurung sejumlah ayam selama satu bulan atau 40 hari untuk mensucikan ayam agar sehat dan nantinya akan dipotong untuk dimakan.[1][3]
Ayam yang dipelihara merupakan ayam kampung yang dikurung sebagai bentuk pembelajaran akan waktu. Selain itu, ayam kampung dikenal sebagai hewan yang ulet.[3]
3. Penjemuran Padi (Angngalloi Ase) dan Mengupas Kelapa (Ammisa' Kaluku)
Apabila sudah genap sebulan, ayam yang dikurung akan dikeluarkan untuk dipotong. Oleh karena itu, keesokan harinya perempuan yang suci atau terhindar dari najis bergotong royong menumbuk gabah untuk memisahkan kulit dari beras.[1][4]
Beras tersebut kemudian ditumbuk sampai halus menjadi tepung. Setelahnya, para wanita membuat minyak dan kue waje dari kelapa. Minyak yang dihasilkan selanjutnya akan digunakan untuk menggoreng ayam dan kerupuk rengginang.[4]
4. Pengisian Bakul (Ammone Baku')
Satu hari sebelum prosesi puncak perayaan Maudu Lompoa, masyarakat memasak beras sebanyak empat liter sampai setengah matang. Empat liter beras itu melambangkan empat unsur dari manusia yaitu tanah, air, api, dan angin.[3]
Selanjutnya, bakul diisi dengan nasi setengah matang, ayam goreng, dan telur rebus. Telur rebus yang dimasukkan itu sebelumnya sudah dihias dengan warna tertentu agar tampak menarik. Telur tersebut kemudian diberi pegangan dari bambu yang telah diruncingkan. Prosesi itu disebut juga dengan (anno'do bayao).[1][4]
Tahap Pelaksanaan Tradisi Maudu Lompoa
1. Mengisi Bakul (Ammone' Baku)
Ammone' Baku masuk ke dalam tahap persiapan sekaligus pelaksanaan karena dipersiapkan pada hari digelarnya Maudu' Lompoa. Dalam proses ini, baku' atau bakul diisi oleh wanita dalam keadaan suci.
Artinya, wanita yang mengisi bakul tersebut harus dalam keadaan tidak haid dan sudah berwudhu. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kesucian dari makanan yang dimasukkan ke dalam bakul tersebut.
Pertama-tama bakul diisi dengan nasi setengah masak, lalu membungkus ayam yang telah digoreng dengan daun pisang yang diletakkan di dasar bakul. Bakul juga diisi dengan kerupuk rengginang dan kue waje.[1]
Permukaan bakul kemudian ditutup dengan daun pisang atau daun kelapa muda. Setelah itu, telur yang sudah dihias dan diberi bambu ditancapkan minimal berjumlah 20 butir di permukaan bakul.[1][3]
Selanjutnya, pinggiran bakul kemudian dihiasi dengan pa'belo-belo (hiasan). Hiasan yang biasa digunakan yaitu bunga-bunga dari kertas yang dibentuk menyerupai orang. Dari hiasan-hiasan bakul inilah dapat dilihat tingkat kemampuan pemiliknya.[1]
2. Menghias Bakul
A'belo-belo Kanre Maudu atau menghias seluruh atribut yang digunakan dalam proses perayaan Maudu Lompoa. Pada prosesi ini, masyarakat menghias bakul, kandawari atau tempat menyimpan bakul, dan julung-julung yakni perahu untuk memuat seluruh bakul.
Bakul dihias dengan bunga-bunga kertas, sementara julung-julung dihias dengan layar atau kain. Kain yang digunakan memiliki berbagai macam warna yang digantung untuk menarik perhatian masyarakat.
3. Pengantaran Bakul ke Lokasi Perayaan
Apabila sudah dihias, masyarakat akan mengantar bakul (Angngantara' Kanre Maudu') ke lokasi perayaan di pinggir sungai Cikoang. Cara pengantarannya pun berbeda-beda, jika rumah warga dekat dengan lokasi mereka hanya perlu membawa bakul dengan kandawari yang diangkat (dibembeng).
Berbeda halnya apabila rumah warga jauh, maka mereka harus membawa makanan untuk maudu' Lompoa dengan julung-julung. Pembawaan julung-julung tentu tidak dilakukan sendiri, melainkan secara gotong royong.
4. Penerimaan Makanan Maulid
Makanan untuk perayaan Maudu Lompoa atau Kanre maudu yang telah dibawa oleh masing-masing pemilik akan diterima oleh anrongguru selaku pemimpin ritual. Prosesi ini dalam bahasa Makassar disebut juga dengan Pannarimang Kanre Maudu.
Dalam penerimaannya, dilakukan pembakaran dupa sambil duduk bersila membaca doa. Hal tersebut dilakukan agar persembahan yang dibawa dapat diterima dan menyenangkan nabi Muhammad SAW.[1]
Makanan-makanan tersebut akan ditata rapi dan dibacakan Kitab Al barazanji yang disertai pembacaan surah-surah Al-qur'an. Setelahnya, makanan tersebut akan ditata kembali di atas julung-julung.[4]
5. A'ratek/ Azzikiri
Prosesi ini merupakan inti dari perayaan Maudu Lompoa yang dipimpin oleh anrongguru. Pada prosesi ini akan dibaca A'ratek/ Azzikiri yang berasal dari kitab rate' karya Sayyid jalaluddin Al-Aidid yang merupakan inti dari ajaran Nabi Muhammad.
Isi dari bacaan tersebut yaitu berbentuk syair pujian berbahasa Arab yang ditujukan kepada baginda rasulullah SAW dan keluarganya. Pembacaannya dilakukan selama dua jam menggunakan lagu dan irama yang khas dan dapat menyentuh hati. Adapun tempat pelaksanaannya yaitu di baruga A'ratek/ Azzikiri.
6. Jamuan Tamu
Setelah prosesi A'ratek/ Azzikiri selesai seluruh tamu yang berada si baruga akan dijamu. Tamu-tamu itu biasanya berasal dari keturunan Sayyid jalaluddin Al-Aidid.
Makanan yang dijamukan kepada mereka bukan berasal dari kanre maudu' melainkan makanan yang telah disiapkan oleh panitia pelaksana acara. Kanre maudu' sendiri akan dibagikan kepada orang-orang tertentu setelah pembacaan doa. Prosesi ini disebut dengan Attoana.
7. Membagikan Makanan Maulid
Makanan maulid yang sebelumnya sudah dibacakan A'ratek/ Azzikiri kemudian akan dibagikan dengan ketentuan yang berlaku. Pembagiannya terbagi atas tiga tingkatan yaitu Qadhi/ imam dan pejabat pemerintah setempat diberikan masing-masing sebuah julung-julung lengkap dengan isinya.
Sementara peserta A'ratek/ Azzikiri masing-masing diberi sebuah kandawari lengkap dengan isinya. Selebihnya, masyarakat umum masing-masing mendapatkan sebuah bakul.[1]
Sejarah Tradisi Maudu Lompoa
Awal munculnya perayaan Maudu Lompoa yaitu dimulai ketika seorang ulama besar dari Aceh datang ke Desa Cikoang untuk menyebarkan agama Islam. Ulama itu bernama Syekh Jalaluddin Al-Aidid.
Pada saat itu, Syekh Jalaluddin membawa sembilan kitab termasuk kitab maulid. Dirinya mengaku bahwa dia adalah keturunan Nabi Muhammad SAW yang datang ke desa itu untuk mengembangkan agama Islam.[2]
Syekh Jalaluddin datang ke Desa Cikoang menggunakan sajadah dengan keadaan sujud dan bersandar di muara sungai Cikoang. Pada mulanya, dirinya bertemu dengan seorang Raja Gowa di daerah Banjar.
Raja Gowa tersebut memiliki anak perempuan bernama Daeng I Acara Tamamai yang diperkenalkan dengan Syekh Jalaluddin. Syekh Jalaluddin akhirnya melamar putri raja itu untuk dijadikan istri.
Beberapa tahun setelah menikah, Syekh Jalaluddin dan istri berlayar ke beberapa pulau dan dikaruniai tiga orang anak. Setelah itu, Syekh Jalaluddin memutuskan untuk menetap di kampung halaman istrinya yaitu Gowa.
Syekh Jalaluddin berkeliling melihat daerah sekitar dan akhirnya berhenti di sekitar muara sungai Desa Cikoang. Sesampainya di sana, Syekh Jalaluddin berkeliling desa mengajarkan agama Islam termasuk perayaan maulid nabi.
Maulid Nabi pertama kali dilaksanakan di Desa Cikoang pada 12 Rabiul Awal di bawah pohon asam tahun 1925 Masehi. Perayaan itu dipimpin langsung oleh Syekh Jalaluddin dengan sederhana.
Acara itu menghidangkan sajian yang cukup sederhana seperti kaddo minyak atau nasi ketan yang dilengkapi dengan lauk ayam goreng. Kemudian diadakan ritual pembacaan barazanji dan surah-surah dari Al-Quran.
Semakin hari pengikut dari Syekh Jalaluddin semakin bertambah. Penduduk Cikoang yang merantau pun akan menyempatkan pulang kampung untuk turut serta dalam ritual ini.
Jumlah pengikut yang semakin banyak ini pada akhirnya membuat perayaan maulid semakin meriah sehingga disebut dengan Maudu Lompoa. Terdapat banyak sekali orang yang mengikuti ritual ini, tradisi ini bahkan masih terus dijalankan setelah Syekh Jalaluddin berlayar meninggalkan Desa Cikoang.[4]
Nah, tulah tadi ulasan terkait tradisi peringatan Kelahiran Nabi Muhammad khas Sulawesi Selatan, Maudu Lompoa. Menarik ya, detikers.
Sumber:
1. Jurnal UIN, Analisis Pesan Dakwah Dalam Tradisi Maudu' Lompoa di Cikoang kabupaten Takalar
2. Jurnal UNM, Maudu' Lompoa: Studi Sejarah Perayaan Maulid Nabi Terbesar di Cikoang Kabupaten Takalar
3. Laman resmi kemendikbud, Warisan Budaya Takbenda Indonesia Maudu Lompoa
4. Skripsi Unhas, Makna Penghargaan dalam Ritual maudu Lompoa di Desa Cikoang Kecamatan mangarabombang, Kabupaten Takalar.
(urw/nvl)