Dirut-Komisaris PT GPS Jadi Tersangka Kasus Tambang Nikel Ilegal di Morut

Dirut-Komisaris PT GPS Jadi Tersangka Kasus Tambang Nikel Ilegal di Morut

Hafis Hamdan - detikSulsel
Selasa, 04 Jun 2024 13:01 WIB
Arrested man handcuffed hands at the back
Ilustrasi. Foto: Getty Images/iStockphoto/uzhursky
Morowali Utara - Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Perkasa Sulawesi (GPS) berinisial AT (31) ditetapkan sebagai tersangka kasus tambang nikel ilegal di Kabupaten Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng). Komisaris Utama PT GPS berinisial S (46) juga ditetapkan tersangka.

"Penindakan PT GPS dilakukan tim Ditreskrimsus Polda Sulteng dua kali," ujar Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Djoko Wienartono kepada wartawan, Selasa (4/6/2024).

Kedua pelaku diamankan di Morut pada Mei 2024. Djoko menyebut sebelumnya tim Ditreskrimsus telah melakukan penindakan kepada PT GPS sebanyak 2 kali yaitu pada Februari dan Maret 2024 karena melakukan penambangan nikel di wilayah PT Bumanik.

"PT GPS diduga dalam melakukan kegiatan pertambangan nikel berada di dalam area wilayah kawasan hutan dan wilayah Izin Usaha Produksi (IUP) PT Bumanik," ungkapnya.

Djoko menerangkan dalam penindakan pertama, pihaknya telah menyita 17 unit alat berat berupa ekskavator dan 99 tumpukan material ore nikel. Termasuk dokumen pertambangan dan surat keterangan tanah (SKT).

"Sedang untuk penindakan kedua penyidik telah menyita 6 unit alat berat ekskavator, 2 unit dump truck roda 10 dan 12 dome atau tumpukan ore nikel," bebernya.

Djoko melanjutkan, AT dan S ditetapkan sebagai tersangka usai pihaknya meminta keterangan saksi-saksi, termasuk saksi ahli terkait tambang nikel ilegal. Perbuatan kedua pelaku menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 5 miliar.

"Atas perbuatan tersangka negara mengalami kerugian kurang lebih Rp 5 miliar," kata Djoko.

Djoko menambahkan kedua tersangka dijerat Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

"Tersangka juga dijerat Pasal 89 (1) huruf a dan b Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan pidana singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1,5 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar," pungkasnya.


(asm/hmw)

Hide Ads