Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar turun tangan membantu pendampingan kepada 3 warga Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dipenjara usai protes dan menyegel tower Base Transceiver Station (BTS). LBH menilai pemenjaraan warga tersebut sudah masuk kategori kriminalisasi.
"Kami melihat bahwa kasus ini sudah masuk kasus kriminalisasi sebenarnya dari pihak perusahaan meredam protes dari warga," ungkap Kordiv Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, Muhammad Ansar kepada detikSulsel, Senin (22/1/2024).
Ansar memaparkan warga menempuh aksi protes secara bertahap sebelum melakukan penyegelan. Bentuk protes warga sudah mulai dilakukan sejak tahun 2021 sebab mengetahui bahwa pada tahun 2022 kontrak akan berakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keresahan warga sudah sangat lama. Alat elektronik mereka banyak yang rusak (akibat keberadaan tower). Mereka mulai aksi tahun 2021 untuk memberikan kesempatan kepada pihak perusahaan membongkar sebelum masa kontrak berakhir," terangnya.
Selaku tim kuasa hukum warga, Ansar mendesak kepada Bupati Pinrang, Irwan Hamid tidak tinggal diam dengan adanya masalah ini. Dia meminta Pemkab melakukan mediasi dan meninjau kembali keberadaan tower tersebut.
"Kami meminta kepada Pemda setempat dalam hal ini Pak Bupati melakukan evaluasi keberadaan tower di Talabangi sebab sudah meresahkan warga. Keberadaan tower juga pasti tidak terlepas dari pemda setempat memberikan IMB," tegasnya.
Selama ini kata Ansar, mediasi yang dilakukan di tingkat kelurahan tidak menghasilkan keputusan yang adil terhadap warga. Pihak perusahaan hanya memberikan opsi terbatas kepada warga dan menolak pindah.
"Sudah pernah mediasi. Tetapi pilihannya tetap di sana (berdiri tower) dan tiga orang ini tidak akan diproses hukum dan warga menolak damai kalau begitu pilihannya. Warga maunya pindahkan itu tower," imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, tiga warga di Pinrang ditangkap usai menyegel tower BTS. Kasus penggembokan tower telekomunikasi inipun tengah bergulir di persidangan.
Kasi Intel Kejari Pinrang, Fauzan Eka Prasetia mengatakan ketiga pelaku masing-masing berinisial KMD, SDM, dan AAK. Ketiganya menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Pinrang pada, Selasa (16/1).
Atas perbuatannya, ketiganya dijerat Pasal 55 Juncto Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka terancam hukuman penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta.
"Jadi yang dipermasalahkan di dakwaaan adanya tindakan penggembokan atau penyegelan yang membuat sinyal dari 3 operator menurun. Jadi bukan penolakan tetapi aksi penggembokannya," kata Fauzan.
(ata/asm)