Kasus dugaan sodomi 10 mahasiswa yang dilakukan mantan staf Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) berinisial SS bikin heboh civitas akademika. Namun kuasa hukum SS, Hardiyanto membantah tudingan pelecehan seksual yang dianggap merugikan kliennya tersebut.
"Akhir-akhir ini dia (SS) trauma kasihan, karena malu mi toh malu ketemu orang lebih memilih menutup diri," ujar Hardiyanto kepada detikSulsel, Selasa (21/3/2023).
Hardiyanto mengaku heran pihak korban tidak juga membawa kasus dugaan sodomi ini ke polisi. Dugaan sodomi itu dikatakan sebagai tuduhan tidak berdasar.
"Seandainya orang dituduh memukul dituduh menganiaya, tapi ini kita tahu mi isunya bagaimana," sebutnya.
Untuk diketahui, kasus SS diduga menyodomi 10 mahasiswa UIN Makassar awalnya diungkap Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Alauddin Makassar. Dugaan pelecehan seksual itu disebut terjadi pada 2022 lalu.
Belakangan, kuasa hukum SS memberikan penjelasan terkait kasus kliennya di FSH UIN Makassar. Dirangkum detikSulsel, berikut 4 bantahan dari pihak mantan staf UIN Makassar soal kasus dugaan menyodomi 10 mahasiswa:
1. Bantah SS Menyodomi 10 Mahasiswa
Hardiyanto membantah dugaan sodomi 10 mahasiswa yang dilakukan SS. Kabar yang membuat heboh tersebut dianggap hanya sekadar tudingan belaka karena tidak ada korban yang melapor ke polisi.
"Karena kalau memang ada korban ada pelaku, mengapa ini korban tidak melapor ke polisi biar polisi yang tuntaskan itu yang lebih berwenang. Itu logikanya," sebut Hardiyanto.
Hardiyanto lantas meminta pihak korbannya menunjukkan bukti visum. Pihaknya juga menantang agar kasus ini dilaporkan ke polisi jika peristiwa sodomi itu memang terjadi.
"Kejadiannya itu sudah lama, mana visumnya. Bisa tidak dihadirkan sekarang itu visum betul tidak. Kenapa bukan pada hari itu korban melapor," tegasnya.
2. SS Bukan Staf FSJ UIN Alauddin Makassar
Awalnya, Dema UIN Makassar yang saat itu mengadvokasi korban menyebut terduga pelaku SS merupakan staf di FSH UIN Makassar. Namun pihak dekanat juga membantah status staf SS, melainkan cuma melainkan cuma tenaga lepas atau freelancer berdasarkan SK yang dikeluarkan pihak fakultas.
"Iya benar dikeluarkan fakultas bukan dari rektor. SK-nya dia itu bentuknya kepanitiaan ji artinya dia ada keahliannya, anggaplah kita ini jago di wilayah komputer, sementara fakultas akademik membutuhkan tenaga kita dia berikanlah SK," urai Hardiyanto.
Menurutnya, SS sebagai freelancer ditetapkan dalam Surat Keputusan (SK) Kepanitiaan yang bersifat Ad-Hoc. SK itu pun sudah dicabut karena hanya bersifat sementara.
"Tapi SK-nya itu model kepanitiaan sewaktu-waktu dibutuhkan tenaga ta' dipanggil lagi, bukan dibilang staf," tegasnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
(sar/ata)