Pesan Agar Polisi Mengacu UU TPKS Usai Setop Kasus Arsitek Perkosa Mahasiswi

Kota Makassar

Pesan Agar Polisi Mengacu UU TPKS Usai Setop Kasus Arsitek Perkosa Mahasiswi

Agus Umar Dani - detikSulsel
Senin, 13 Mar 2023 09:30 WIB
Ilustrasi pemerkosaan
Foto: Ilustrasi kasus pemerkosaan. (Edi Wahyono/detikcom)
Makassar - Direktur Yayasan Rumah Mama Sulsel Lusia Palulungan turut menanggapi keputusan polisi melakukan restorative justice kasus arsitek inisial SA (40) di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) memperkosa mahasiswi yang juga adalah pacarnya. Lusia meminta penyidik tak hanya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun juga pada UU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru disahkan 2022 lalu.

"Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, aparat penegak hukum harus mengacu bukan hanya pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi juga pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," kata Lusia kepada detikSulsel, Minggu (12/3/2023).

Dia mengatakan institusi Polri sebenarnya sudah mengeluarkan regulasi terkait penanganan kasus kekerasan seksual melalui surat telegram. Dia pun berharap agar pihak kepolisian menjalankan regulasi itu.

"Di dalam Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1292/VI/RES 1.24/2022 sudah jelas mengatur hal itu," tegas Lusia.

Dalam regulasi itu, kata Lusia, penyidikan dilakukan berdasarkan amanah undang-undang terkait penuntasan kasus TPKS. Selain itu, pemeriksaan terhadap saksi/korban/tersangka tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Kemudian, proses penyidikan kasus TPKS tidak bisa diselesaikan di luar sidang kecuali kekerasan pada anak sebagaimana diatur dalam undang-undang. Salah satu dari sekian banyak barang bukti yang bisa menguatkan korban saat diperiksa penyidik adalah tersedianya barang bukti yang mengakibatkan TPKS.

Kasus Arsitek Perkosa Mahasiswi

Kasus ini bermula saat dari pelaku yang bekerja di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah kembali ke Makassar. Pelaku kembali setelah menerima informasi dari adik korban jika pacarnya sudah 3 hari tidak pulang ke rumah.

"Pelaku balik ke Makassar dari Luwuk Banggai, sesampainya di Makassar ketemu sama korban, dan korban kaget karena pelaku datang tidak bilang-bilang tanpa sepengetahuannya dan pelaku pulang karena curiga ada selingkuhan korban," ucap Kanit PPA Polrestabes Makassar Iptu Alim Bachri kepada detikSulsel, Kamis (9/3).

Saat tiba di Makassar, SA lantas memergoki pacarnya atau korban sedang bersama dengan pria lain. Pelaku dan korban pun terlibat cekcok pada Selasa (7/3) dini hari.

"Ternyata betul dia pulang ke Makassar dia lihat korban diantar pulang lelaki, di situ bertengkar adu mulut di dalam kamar ini korban dan pelaku," lanjutnya.

Alim menjelaskan, pelaku kemudian memaksa korban mengakui kesalahannya. Korban terpaksa mengaku berselingkuh lantaran dianiaya oleh SA.

"Dari keterangan korban pada saat berdebat di kamar ini pelaku sempat kutik (sentil) mulut dan telinganya, dijitak jidat korban satu kali dia jitak kepalanya, dia kutik telinganya untuk mengaku selingkuh," papar Alim.

Setelah dianiaya, korban lantas diperkosa oleh korban. Korban juga terpaksa menuruti kemauan SA lantaran takut mendapat tindak kekerasan dari kekasihnya itu.

"Terpaksa korban bilang salah tapi sudah dipukul kemudian berhubungan badan, tapi dari keterangan korban terpaksa sekali untuk berhubungan badan," sambungnya.

Belakangan polisi menyetop penyidikan kasus pemerkosaan tersebut. Penghentian tersebut didasari oleh korban yang mencabut laporan polisi.

"Cabut laporan korban," kata Kasat Reskrim Polrestabes Makassar AKBP Ridwan Hutagaol kepada detikSulsel, Minggu (12/3/2023).

Menurut Ridwan, pihaknya juga sudah melakukan proses restorative justice (RJ) antara korban dan pelaku. Oleh sebab itulah kasus ini tak dilanjutkan.

"Oh sudah di RJ udah selesai," katanya.

AKBP Ridwan menjelaskan bahwa mekanisme RJ juga mempertimbangkan berat atau ringannya perkara. Jika perbuatan yang dilakukan pelaku masuk dalam kategori tidak berlebihan, maka RJ bisa diterapkan.

"Ada namanya sistem mekanisme yang di RJ. Apakah perkara itu berat, atau ini (ringan). Ada gak perbuatannya yang melebihi," paparnya.

Pada kasus ini, Ridwan mengaku penerapan regulasi seperti RJ dilakukan semata-mata untuk keadilan. Korban dan pelaku sepakat kasus ini tidak perlu berlanjut ke meja hijau.

"Jadi undang-undang itu dilakukan untuk keadilan," tutupnya.


(hmw/sar)

Hide Ads