Direktur Yayasan Rumah Mama Sulsel Lusia Palulungan turut buka suara terkait polisi yang menyetop kasus arsitek berinisial SA (40) memperkosa mahasiswi yang juga pacarnya di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Lusia mengatakan restorative justice (RJ) seharusnya tidak diterapkan pada kasus pemerkosaan.
"Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, aparat penegak hukum harus mengacu bukan hanya pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi juga pada UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," kata Lusia kepada detikSulsel, Minggu (12/3/2023).
Lusia mengingatkan bahwa Polri juga sudah memuat regulasi penanganan kasus kekerasan seksual melalui surat telegram. Dia pun berharap agar pihak kepolisian menjalankan regulasi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di dalam Surat Telegram Kapolri No. ST/1292/VI/RES 1.24/2022 sudah jelas mengatur hal itu," tegas Lusia.
Regulasi yang dimaksud oleh Lusia tersebut adalah penyidikan dilakukan berdasarkan amanah undang-undang terkait penuntasan kasus TPKS. Selain itu, pemeriksaan terhadap saksi/korban/tersangka tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Kemudian, proses penyidikan kasus TPKS tidak bisa diselesaikan di luar sidang kecuali kekerasan pada anak sebagaimana diatur dalam undang-undang. Salah satu dari sekian banyak barang bukti yang bisa menguatkan korban saat diperiksa penyidik adalah tersedianya barang bukti yang mengakibatkan TPKS.
Sebelumnya diberitakan, kasus arsitek berinisial SA yang memperkosa mahasiswi yang juga pacarnya di Makassar berakhir damai. Keduanya damai lantaran pihak korban sudah mencabut laporan polisi.
"Oh sudah di RJ (restorative justice) udah selesai. Cabut laporan korban," kata Kasat Reskrim Polrestabes Makassar AKBP Ridwan Hutagaol kepada detikSulsel, Minggu (12/3).
AKBP Ridwan tak menampik proses RJ tak bisa begitu saja diterapkan pada kasus pemerkosaan. Namun dia menyebut ada indikasi suka sama suka dalam kasus ini.
"Kalau pelecehan seksual di Pasal 285 (KUHP) iya. Tapi ini kan berkali-kali. Berarti suka sama suka," katanya.
Dia menambahkan, mekanisme RJ diberlakukan dengan mempertimbangkan berat atau ringannya perkara. Jika perbuatan yang dilakukan pelaku masuk dalam kategori tidak berlebihan, maka RJ bisa diterapkan.
"Ada namanya sistem mekanisme yang di RJ. Apakah perkara itu berat, atau ini (ringan). Ada gak perbuatannya yang melebihi," paparnya.
Pada kasus ini, Ridwan mengaku penerapan regulasi seperti RJ dilakukan semata-mata untuk keadilan. Korban dan pelaku sepakat kasus ini tidak perlu berlanjut ke meja hijau.
"Jadi undang-undang itu dilakukan untuk keadilan," tuturnya.
(hsr/hmw)