Kapolda Sulawesi Selatan (Sulsel) Irjen Nana Sudjana turun tangan menyelidiki kasus tambang yang melibatkan Dikrimsus Kombes Helmi Kwarta dan Kapolres Luwu Timur (Lutim) AKBP Silvester Simamora hingga dilaporkan ke Propam Polri. Nana mengaku akan memanggil dua anggotanya yang dilaporkan tersebut.
"Kalau masalah laporan saya akan cek, akan memanggil Kapolres dan Dirkrimsus untuk mengetahui secara mendalam terkait laporan tersebut," ujar Irjen Nana saat dihubungi detikSulsel, Selasa (22/11/2022).
Nana menjelaskan, ada dua perusahaan tambang di Luwu Timur yang sedang berperkara. Namun, dia menyebut perkara itu melibatkan antar pemegang saham, sementara kepolisian hanya melakukan pengamanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permasalahan yang polisi lebih fokus menjaga keamanan supaya tidak ada konflik atau perbuatan pidana, tidak ada konflik di lokasi tersebut," kata Nana.
Pengaduan Dirkrimsus-Kapolres Luwu Timur ke Propam Polri
Adapun aduan ini dilayangkan oleh PT Asia Pasific Mining Resources diwakili kuasa hukum Henry Yosodiningrat. Henry menyebutkan keduanya diduga berpihak terhadap perusahaan tambang PT Aserra Mineralindo Investama.
"Saya melaporkan Dirkrimsus Polda Sulsel ya, dan Kapolres Luwu Timur. Kemudian karena kedua pejabat itu melakukan keberpihakan dalam sengketa keperdataan masalah tambang nikel di Luwu Timur," kata Henry di Mabes Polri dikutip dari detikNews, Senin (21/11).
Henry menyebutkan keduanya diduga berpihak pada saat melakukan pengawalan dirut baru PT Aserra hingga terdapat kekerasan. Namun saat itu pihak kepolisian disebut malah membiarkan adanya kekerasan oleh preman-preman yang terlibat kisruh antar perusahaan tambang ini.
"Bentuk keberpihakannya mereka ini datang bersama dengan sekelompok preman mengawal Dirut baru perseroan berdasarkan akta yang kami anggap tidak sah, yaitu pak siapa gitu dirut baru, itu tanggal 5 November, itu hari Sabtu lho bukan hari apa, itu nggak ada perkara pidana urusan apa mereka ngawal-ngawal ke situ," katanya.
"Kemudian di sana preman-preman itu melakukan kekerasan, ada yang mendobrak pagar, kemudian segala macam, mereka malah anggota polisi yang foto-foto, bukan memisah atau menjamin memberikan kenyamanan keamanan bagi orang yang dilakukan malam itu," tambahnya.
Lebih lanjut, Henry menyebut 11 hari setelah kejadian itu, Helmi Kwarta tiba-tiba menerbitkan LP dan sprindik di hari yang sama. Dia menilai hal ini menyalahi aturan.
"Kemudian selanjutnya 11 hari setelah tanggal itu 5 November, Dirkrimsus tiba-tiba berdasarkan laporan tanggal 16 November, entah inisiatif siapa nggak tahu, ada orang bikin LP di Polda. Kemudian tanggal 16 itu juga langsung ada sprindik, yang menurut ketentuan hukum KUHAP, sprindik itu baru keluar setelah berdasarkan laporan ada lidik dulu, dari lidik ini harus ada gelar perkara untuk menentukan perkara naik sidik layak atau nggak, ini hari itu juga keluar tanpa SPDP surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari kejaksaan," ujarnya.
"Hari itu juga dibuat surat panggilan pada satu pihak, kemudian hari itu juga surat panggilan itu besoknya diantarkan supaya menghadap tanggal 18 hari Jumat jam 9 pagi," sambungnya.
Henry menduga adanya penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini. Dia berharap aduannya ini bisa diproses.
"Pertama atas dugaan keberpihakan dalam sengketa keperdataan, bentuknya ya itu tadi nganterin direktur, mendiamkan kekerasan, kemudian ditambah lagi surat-surat yang saya sampaikan tadi, ada sprindik tanggal 16 LP tanggal 16," katanya.
"Buat saya sih ngawal nggak masalah, itu membiarkan terjadi kekerasan. Itu keberpihakan dalam penanganan perkara," tutupnya.
(ata/hsr)