Mengungkap Fakta Sejarah di Balik Legenda Makam Tujua Karebosi Makassar

Mengungkap Fakta Sejarah di Balik Legenda Makam Tujua Karebosi Makassar

Yaslinda Utari Kasim - detikSulsel
Senin, 30 Okt 2023 19:00 WIB
Makam Tujua di Karebosi
Makam Tujua di Karebosi Makassar (Foto: Yaslinda Utari Kasim)
Makassar - Cerita Makam Tujua di Karebosi Makassar yang dikenal akan kesaktian dan kesakralannya telah menjadi legenda yang tersebar secara turun-temurun di Sulawesi Selatan. Akan tetapi, setelah mengulik sejarah dan kesaksian masyarakat setempat, ternyata tersimpan fakta-fakta di balik legenda itu.

Kabar yang tersampaikan dari mulut ke mulut tentang asal-usul serta kesaktian Makam Tujua ini agaknya bertolak dengan catatan yang tersusun berdasar kesaksian sejumlah sejarawan. Terdapat ketidaksamaan latar belakang waktu dan peristiwa di baliknya.

Bukan cuma itu, mitos-mitos yang tersebar terkait makam Tujua ini menimbulkan asumsi yang berbeda-beda dari warga. Kesaksian warga setempat yang melihat langsung makam ini sedari kecil pun berbeda-beda antar satu sama lain.

Fakta sejarah menunjukkan, terdapat sejumlah perbedaan dengan cerita legenda yang menyebar di masyarakat. Perbedaan tersebut di antaranya terkait durasi kemarau panjang di Sulawesi Selatan, bidadari yang menjadi mula munculnya gundukan Makam Tujua, sampai berbagai versi posisi gundukan di Lapangan Karebosi.

Durasi Berlangsungnya Kemarau Mencapai 56 Tahun

Konon, munculnya Makam Tujua ini dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi di tanah Gowa sekitar abad ke-10 atau 11. Gowa kala itu dilanda perselisihan yang tak kunjung usai sebab orang-orang beradu kekuatan untuk membuktikan bahwa dirinya yang paling hebat. [1]

Ditambah lagi alam kala itu tidak bersahabat menjadikan Gowa tandus akibat kemarau panjang yang berlangsung sudah tujuh tahun. Legenda yang sama diceritakan oleh Sejarawan sekaligus Akademisi Universitas Negeri Makassar (UNM) Dr. Bahri, M.Pd.

Dirinya membenarkan bahwa ada legenda atau mitos yang tersebar terkait munculnya makam Tujua dilatarbelakangi oleh kemarau panjang selama tujuh tahun di Gowa dan Tallo sebelum berdirinya Kerajaan Gowa.

Sementara itu, Sejarawan Universitas Hasanuddin Dr. Suriadi Mappangara melontarkan pendapat yang berseberangan dengan legenda tersebar. Suriadi menyatakan bahwa kemarau panjang yang terjadi di Sulawesi Selatan tercatat berlangsung selama tujuh pariyama, bukan tujuh tahun.

Dalam buku-buku sejarah tercatat, kemarau panjang di Sulawesi Selatan terjadi selama tujuh pariyama. Setiap satu pariyama terhitung delapan tahun, sehingga berdasarkan sejarah kemarau panjang di Sulawesi Selatan sempat berlangsung selama 56 tahun.

Kemarau panjang itu juga tercatat terjadi pada abad ke-13 bukan abad ke-10 atau 11. Pada masa itu juga diceritakan turunnya sosok Tomanurung.

Bidadari Turun di Makam Tujua Bukan Tomanurung

Legenda Makam Tujua ini menceritakan bahwa hujan turun mengguyur Sulawesi Selatan mengakhiri kemarau panjang yang terjadi selama tujuh tahun di sana. Hujan itu terjadi selama tujuh hari tujuh malam dibarengi dengan kilat dan guntur yang saling bersahutan.

Pada hari kedelapan muncul tujuh gundukan tanah yang disertai turunnya tujuh bidadari dari langit. Ketika mereka turun, perselisihan dan konflik di Sulawesi Selatan terselesaikan, alam pun menjadi baik dan tentram.[1]

Cerita orang-orang terdahulu mengatakan bahwa tujuh bidadari itu merupakan Tomanurung yaitu dewa mitologi Bugis-Makassar. mereka dikisahkan turun dari langit dengan memakai baju bodo berwarna-warni. Namun, sejarawan membantah cerita itu.[2]

Suriadi mengatakan bahwa Tomanurung yang tercatat dalam sejarah di Sulawesi Selatan jumlahnya hanya satu. Tomanurung merupakan seorang perempuan yang menjadi Raja pertama Kerajaan Gowa.

Dirinya diturunkan dari langit dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di tanah Gowa dan Tallo. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, permasalahan itu berupa kemarau panjang selama tujuh pariyama yang terjadi sekitar abad ke-13.

Mengacu pada sejarah tersebut, sejumlah sejarawan berpendapat bahwa tujuh bidadari dari langit yang melatarbelakangi munculnya gundukan Makam Tujua bukan seorang Tomanurung.

Seorang Budayawan Universitas Hasanuddin, Prof Nurhayati Rahman meluruskan bahwa memang tujuh bidadari itu bukanlah Tomanurung. Mereka adalah bidadari yang diantar oleh kilat yang yang terjadi selama hujan deras tujuh hari tujuh malam. Ketujuh bidadari itulah yang disebut dengan Karaeng Tujua.

Budayawan UNM Basri juga membenarkan bahwa tujuh bidadari yang turun merupakan Tujua. Namun, Basri mengatakan ada saja kemungkinan bidadari itu merupakan Tomanurung. Dirinya mempertimbangkan hal tersebut karena mitos kemunculan gundukan makam Tujua yang timbul dan menghilang secara tiba-tiba.

Posisi Gundukan yang Berbeda-beda

Berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar tujuh gundukan yang merupakan Makam Tujua ini dulunya sering muncul dan hilang secara tiba-tiba. Hanya orang beruntung dan terpilih saja bisa melihat dan berziarah langsung di makam ini.

Menurut kesaksian Petugas Penyiram Lapangan Karebosi Halim (50), dulunya makam ini masih tersebar dan sulit untuk dilihat secara langsung. Karena kesaktiannya itu banyak yang berbondong-bondong datang ke lapangan Karebosi untuk mencari makam Tujua ini.

Namun, hanya orang-orang yang beruntung dan dipilih oleh Karaeng Tujua saja yang bisa melihat gundukan makam Tujua. Sampai pada revitalisasi lapangan Karebosi, konon Karaeng Tujua merasuki salah satu warga di sana.

Melalui warga itu, Karaeng Tujua menunjuk keberadaan tujuh makamnya yang sulit ditemukan itu. Satu per satu makam pun ditemukan kemudian disatukan berjejer dalam satu baris.

Bentuknya pun kini bukan seperti gundukan lagi melainkan berbentuk makam pada umumnya yang dibangun dengan rapi. Menurut warga sekitar, makam Tujua yang sekarang sudah tidak terlihat sakral lagi setelah disusun seperti itu.

Di sisi lain, kisah tentang berpindah-pindahnya makam itu berbeda dengan pengalaman pribadi seorang warga bernama Ujodi Usman (48) yang masa kecilnya pernah berkunjung ke makam Tujua sebelum revitalisasi. Dia mengatakan bahkan sebelum revitalisasi makam itu sudah berjejer dengan posisi yang memiliki sedikit jarak antar makam.

Referensi:

1. Jurnal UNM, Lapangan Karebosi Kota Makassar (1990-2017)
2. Jurnal Indonesia Sosial Sains, Mitos kecantikan Tomanurung sebagai Fungsi Perdamaian Sosial Suku Bugis Makassar Abad ke-13 (Study Etnografi)


(urw/nvl)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Hide Ads