Kawasan Karebosi yang terletak di pusat Kota Makassar Sulawesi Selatan (Sulsel) menyimpan sebuah peninggalan sakral berupa tujuh makam keramat yang berada tepat di tengah-tengah. Mitosnya, gundukan yang disebut Makam Tujua ini muncul secara tiba-tiba saat hujan usai kemarau panjang melanda wilayah Sulsel berabad-abad yang lalu.
Makam yang lebih dikenal dalam bahasa Makassar 'Kubburu Tujua' ini terletak tepat di tengah lapangan Karebosi dengan bentuk yang tak lazim. Tampak posisi makam tersebut serong dan berjejer dalam satu baris.
Setelah menilik jauh menjelajahi sejarah, legenda Makam Tujua ini rupanya muncul pada abad ke-11 di tanah Gowa setelah turunnya hujan yang mengakhiri kemarau panjang di sana. Dikisahkan pada masa itu Sulsel dilanda kemarau panjang selama tujuh tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemarau yang menyebabkan kekeringan itu diperparah dengan konflik dan perselisihan antar warga yang tak kunjung berhenti. Namun, pada suatu waktu hujan yang sangat deras mengguyur seluruh wilayah Sulsel selama tujuh hari tujuh malam.[1]
Menurut Budayawan Universitas Hasanuddin Prof Nurhayati Rahman, hujan itu disertai kilat dan guntur yang saling bersahut-sahutan. Melihat kondisi alam yang kacau itu, penduduk sekitar sontak berteriak mengatakan 'Akkanre Bosia'.
Kalimat yang mereka teriakkan itu terdiri dari kata 'kanre' yang berarti keras dan 'bosi' artinya hujan. Dari kalimat itulah lahir kata Kanre Bosi yang kemudian menjadi Karebosi.
Berbagai Versi Munculnya Makam Tujua
Akan tetapi pada hari kedelapan bencana itu, hujan seketika berhenti, alam menjadi sejuk, konflik dan perselisihan bahkan terusaikan. Bencana itu selesai bukan tanpa alasan, sebab telah turun tujuh bidadari dari langit untuk mendamaikan permasalahan di Kota Daeng.
"Tidak lama kemudian, kilat itu mengantar tujuh bidadari turun dari langit untuk mengendalikan alam dan masyarakat. Itu mi yang disebut dengan Tujua," ucap Prof Nurhayati kepada detikSulsel, Rabu (25/10).
Di hari turunnya ke tujuh bidadari itu pula dikisahkan muncul tujuh gundukan tanah di tengah-tengah lapangan Karebosi dengan misterius. Tidak ada yang mengetahui asal-usul tujuh gundukan tanah di tengah lapangan itu.
![]() |
Ada sumber yang mengatakan bahwa ketujuh bidadari itu justru keluar dari gundukan tanah yang muncul, bukan dari langit. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang Membawa Hujan.[1]
Selaras dengan itu, Dosen Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM) Dr. Bahri S.Pd, M.Pd menambahkan bahwa mitosnya kejadian itu terjadi di Gowa dan Tallo pada abad ke-10. Seiring berjalannya waktu, kisah munculnya makam Tujua ini tersebar dengan berbagai versi karena diceritakan turun temurun secara lisan.
Dari kisahnya yang turun dari langit, beberapa orang mengatakan tujuh bidadari atau tujuh karaeng yang diceritakan itu merupakan Tomanurung. Tomanurung sendiri adalah dewa mitologi Bugis-Makassar di Kerajaan Sulawesi Selatan.
Legenda itu agaknya bertolak belakang dengan sejarah di Sulawesi Selatan yang selama ini tercatat. Bahri dengan tegas mengatakan munculnya gundukan itu mitosnya terjadi pada abad ke-10 sekitar tahun 1100 sebelum Kerajaan Gowa berdiri. Sedangkan Tomanurung turun pada abad ke-13 yaitu sekitar tahun 1400-an ketika Kerajaan Gowa sudah ada.
"Kalau misalnya beberapa sumber dikemukakan bahwa terjadinya sesuatu di lapangan Karebosi itu pada abad ke-10 berarti belum berdiri Kerajaan Gowa. Sementara Kerajaan Gowa itu berdiri pada abad ke-13 bersamaan dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan," tegas Bahri pada Rabu (25/10).
Walaupun dua peristiwa itu terjadi di abad yang berbeda, Bahri mengungkapkan bahwa tidak tertutup kemungkinan tujuh bidadari itu merupakan Tomanurung. Kemunculan dan kepergiannya yang tiba-tiba dari gundukan tersebut membuat mereka dianggap sakti oleh masyarakat, sama seperti Tomanurung.
Legenda Makam Tujua Bertolak dengan Sejarah
Menimpali itu, seorang pakar sejarah Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum kemudian menanggapi legenda ini dengan cara membandingkannya dengan catatan sejarah yang ada Sulawesi Selatan. Suriadi saat ditemui detikSulsel, Selasa (24/10) mengatakan legenda tentang makam Tujua di karebosi itu dalam beberapa hal bertentangan dengan catatan sejarah.
Dirinya turut memperkuat sejarah yang tidak sesuai terkait turunnya tujuh bidadari yang disebut Tomanurung sebagai cikal bakal munculnya gundukan Makam Tujua. Berdasarkan catatan sejarah, Tomanurung jumlahnya hanya satu orang dan berjenis kelamin perempuan. Tomanurung merupakan dewa yang turun dari langit kemudian diangkat menjadi Raja pertama Gowa.
Kemunculan tomanurung tergores dalam buku sejarah bahwa benar adanya konflik, perselisihan, serta bencana berupa kemarau panjang yang melanda Sulawesi Selatan menjadi alasannya turun. Namun, dikisahkan bencana itu bukan terjadi selama 7 tahun, melainkan 7 pariyama.
Suriadi menjelaskan, 1 pariyama dalam buku-buku sejarah disebutkan setara dengan 8 tahun. Artinya, kemarau yang berlangsung selama tujuh pariyama di Makassar kala itu sama dengan 56 tahun.
"Di buku-buku sejarah itu ada. Tujuh pariyama bukan tujuh tahun. Satu pariyama itu ada orang beranggapan itu 8 tahun jadi kurang lebih 56 tahun. Padi tidak mau jadi, kemarau panjang, perselisihan (selama) tujuh pariyama. Tapi sebelum munculnya Tomanurung itu, itu digambarkan kurang lebih 1 minggu keadaan makin kacau sebelum tiba-tiba muncul (Tomanurung). Dan ketika dia muncul semua menjadi tenang," jelas Suriadi.
Sepanjang sejarah yang pernah dikulik Suriadi, belum ada satupun catatan yang membahas tentang makam Tujua itu. Satu-satunya tulisan yang pernah menyinggung kesakralan karebosi yakni tulisan Buya Hamka berjudul 'Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang terbit pada 1930-an. Itu pun tidak disebutkan secara gamblang.
Dalam tulisan Hamka dituliskan 'Menurut takhayul orang tua-tua, bilamana hari akan kiamat, Kara Eng Data akan pulang kembali, di tanah lapang Karebosi akan tumbuh 7 batang beringin dan berdiri 7 buah istana, persemayaman 7 orang anak raja-raja, pengiring dari Kara Eng Data'.
"Jadi ini mitos yang menyejarah istilahnya karena sejarah itu harus ada pembuktian," ucap Suriadi.
Karebosi juga pernah disebutkan dalam tulisan Mubalig Kristen asal Belanda yang berhasil menciptakan kamus bahasa Makassar yaitu B.F Matthes. Dalam bukunya yang dihimpun pada abad ke-19 diceritakan tempat-tempat yang ada di Sulawesi Selatan termasuk Karebosi, namun tidak disebutkan sama sekali tentang Makam Tujua.
![]() |
Buku terkait penamaan-penamaan tempat yang ada di Sulawesi Selatan itu menceritakan karebosi dulunya adalah sebuah lapangan besar yang diperuntukkan kepada pimpinan-pimpinan wilayah kecil di Gowa untuk membuktikan kesetiaannya. Setiap tahun para pimpinan yang disebut karaeng itu membuktikan kesetiaan dengan menanam padi, biasanya bertepatan dengan musim penghujan. Dari kata karaeng yang dipersingkat menjadi kare kemudian kata hujan dalam bahasa Makassar yaitu bosi, maka jadilah nama lapangan tersebut adalah Karebosi.
Berdasarkan pengamatan Suriadi, munculnya mitos kesaktian makam ini bisa jadi merupakan bentuk perlawanan yang dibangun oleh bangsawan terdahulu ketika Belanda mulai menjajah sejak tahun 1905. Diceritakan pada masa Bone dikuasai Belanda, tokoh asal daerah Bone bernama Daeng Pabarang menjual jimat sebagai bentuk perlawanannya agar dikagumi dan didukung oleh masyarakat.
"Kita tidak tahu apakah perlawanan bangsawan-bangsawan dulu itu juga dilahirkan dalam bentuk yang membikin kuburan. Ini (Daeng Pabarang) dia membuat jimat. Mungkin kuburan ini satu cara lain yah bagaimana bangsawan-bangsawan digerakkan," jelas Dosen Departemen Sejarah Universitas Hasanuddin ini.
Dipercaya Sakral Sampai Diziarahi
Meski tidak tercatat dalam sejarah, legenda tentang Makam Tujua terus disampaikan turun temurun secara lisan oleh masyarakat setempat. Ada legenda mengisahkan makam ini dulunya tidak berjejer dalam satu baris melainkan terpisah-pisah.
Pedagang Kanrerong Samnawati (37) salah satunya yang telah menghabiskan keseharian di lapangan Karebosi sedari kecil. Samnawati mengaku saat masih kanak-kanak dia biasa bermain di lapangan Karebosi bersama ayahnya sehingga dia sudah menyaksikan kesaktian makam itu sedari dulu.
![]() |
Menurut kesaksiannya, Makam Tujua mulanya tidak berjejer dalam satu baris seperti sekarang. Ketujuh makam itu yang masih berupa gundukan nampak tersebar di seluruh lapangan, namun tidak mudah untuk dapat melihatnya. Hanya orang-orang terpilih dan beruntung saja yang dapat melihat makam itu.
"Barupi itu, terpisah-pisah itu (dulu) kah masih kecil saya nah sudah memang ma pergi biasa di sini nongkrong sama bapakku dulu. Ini dulu toh kiri kanan tidak ada pi orang bisa dapat ki. Orang beruntung sekali pi yang bisa lihat ki ini kuburan ka," ujar Samnawati, Senin (23/10).
Kesaksian tentang kesaktian makam keramat ini kemudian membuat warga semakin yakin bahwa tempat ini sakral. Warga percaya apabila bernazar akan berziarah ke makam ini maka keinginannya akan terkabul.
Tidak sedikit pula warga yang berdatangan ke makam ini berziarah untuk memenuhi nazarnya. Biasanya mereka bernazar akan menziarahi Makam Tujua dengan membawa sejumlah barang dan melaksanakan ritual apabila keinginan mereka terkabul.
Bahkan ketika revitalisasi lapangan Karebosi, diceritakan Karaeng Tujua merasuki salah satu warga dan menunjuk keberadaan makamnya yang sulit untuk didapati. Setelah ditemukan, barulah makam itu disatukan berjejer dalam satu baris seperti saat ini.
Referensi:
1. Jurnal Universitas Negeri Makassar, Lapangan Karebosi Kota Makassar(1990-2017)
(urw/nvl)