Lapangan Karebosi merupakan ikon Kota Daeng yang terletak di pusat Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Lapangan yang menjadi pusat berbagai aktivitas ini menyimpan sejumlah kisah yang kini menjadi legenda di tengah masyarakat.
Salah satu kisah yang paling legendaris menyebutkan bahwa Lapangan Karebosi ini menjadi tempat turunnya hujan saat Makassar dilanda kemarau panjang. Dalam catatan sejarah, musim kemarau itu terjadi selama 7 tahun pada abad ke-11 sebelum berdirinya Kerajaan Gowa-Tallo.
Kacau kala itu lantaran tidak ada ketentraman dan kesejahteraan imbas dari kekeringan tersebut. Tidak hanya itu, Kota Makassar kala itu juga dilanda konflik di mana setiap orang beradu kekuatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka ingin membuktikan bahwa dirinya paling hebat. Hukum rimba berlaku saat itu, siapa yang paling kuat maka dialah yang berkuasa.
Tiba-tiba pada suatu hari, terjadi hujan deras disertai petir yang menyambar Kota Makassar. Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti.
Karebosi yang dulunya hamparan luas yang kering seketika digenangi air. Namun setelah hujan berhenti dan lapangan karebosi itu mengering, tiba-tiba muncul tujuh gundukan. Warga pun dibuat heran bukan main menyaksikan kejadian itu.
Peristiwa munculnya tujuh makam inilah yang kini menjadi legenda dan diceritakan secara turun temurun. Peristiwa yang tak lazim itu pun memunculkan mitos dan kepercayaan yang berbeda-beda di masyarakat.
Konon katanya, saat itu muncul tujuh orang bergaun keemasan di tiap gundukan lalu hilang secepat kilat.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Tujua atau Karaeng Angngerang Bosi atau Tuan yang membawa hujan. Sementara masyarakat lainnya juga meyakini kalau mereka adalah Tomanurung atau biasa disebut dewa mitologi Bugis-Makassar.(1)
![]() |
Menurut dosen Pendidikan Sejarah UNM Bahri, tujuh gundukan terjadi pada abad ke-10 dan dipercayai sebagai Tomanurung. Meskipun tidak diketahui asal muasalnya, namun cerita yang tersebar di masyarakat, orang yang muncul di atas gundukan itu bukanlah manusia biasa lantaran memiliki kesaktian untuk mendatangkan hujan.
"Mitos yang berkembang selama ini bahwa itu adalah bukan manusia biasa karena memiliki kesaktian untuk memperbaiki negeri pada saat itu dengan mendatangkan hujan," ujar Bahri kepada detikSulsel, Rabu (25/10/2023).
Ketujuh gundukan itu pun diberi nama Tujua. Adapun nama pemilik makam Tujua itu, masing-masing Karaeng Tu Mabellayya, Karaeng Tu Mabbicarayya, Karaeng Tu Maccinika, Karaeng Bainea, Karaeng Tu Nipallanggayya, Karaeng Tu Apparumbu Pepepka, dan Karaeng Tu Angngerang Bosia. Kendati memiliki nama, masyarakat sekitar juga meyakini kalau pemilik makam itu adalah jin.
"Ketujuh orang tersebut disebut Tujua. Salah satu diantaranya Karaeng Tu Angngerang Bosia. Banyak orang percaya bahwa mereka adalah jin," imbuhnya.
Lebih lanjut, Bahri kemudian menceritakan sosok Tomanurung yang disebut sebagai dewa di balik tujuh makam di Karebosi. Meskipun tidak diketahui asal muasalnya, namun ia menyebut Tomanurung diturunkan untuk mempersatukan seluruh wilayah menjadi sebuah kerajaan menurut kepercayaan warga.
"Sebelum turunnya Tomanurung itu, semua kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk Gowa, Bone, dan Soppeng itu mengalami kekacauan. Antara satu wanua, satu wanua artinya itu satu kampung atau satu kerajaan kecil itu saling berperang, saling bermusuhan. Istilah bugisnya itu Sianre Bale, artinya siapa yang kuat itu yang berkuasa," jelasnya.
Dalam catatan sejarah, Tomanurung merupakan raja pertama yang ada di Sulawesi Selatan pada abad ke-13, yakni Kerajaan Gowa-Tallo. Ia disebut turun dari langit untuk menawarkan diri menjadi pemimpin di semua wilayah dengan sebuah syarat.
"Tidak ditau dari mana asalnya itu, terjadilah pembicaraan yang turun dari langit ini yang entah asalnya dari mana menawarkan saya siap menjadi pemimpin dari kalian semua dari beberapa wanua kemudian dipersatukan menjadi satu kerajaan. Tapi ketika saya menjadi angin, anda harus menjadi daun. Dimana angin berhembus disitu daun tertiup. Itu perjanjiannya," katanya.
Lapangan Karebosi di Masa Pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo
Pada tahun 1632, warga Gowa ramai-ramai datang ke Lapangan Karebosi. Mereka secara sukarela datang untuk turut serta menanam padi di Karebosi yang dulunya hamparan sawah kerajaan Gowa-Tallo.
Sebelum ditanami padi, lapangan karebosi dulunya juga digunakan untuk menjamu para raja se-Sulawesi Selatan yang hendak berkumpul bermusyawarah. Karebosi juga kerap digunakan untuk melakukan acara besar tertentu.
Pada masa pemerintahan Belanda, bangsawan Gowa kemudian memberi kewenangan kepada VOC mengubah lapangan itu menjadi Koningsplein atau sebagai ruang publik dan tempat latihan pasukan Belanda.(1)
Lapangan tersebut dulunya diberi nama Parang Lampe yang artinya lapangan panjang dan lebar. Namun, setelah Indonesia merdeka, namanya pun berubah menjadi Lapangan Karebosi.
Sejak berubah nama menjadi Karebosi, lapangan tersebut difungsikan publik sebagai lapangan olahraga. Hingga tahun 1990-an, lapangan ini beberapa kali menjadi lokasi pameran, seperti pasar malam.(2)
Tidak hanya itu, Lapangan Karebosi juga digunakan para pedagang kaki lima untuk berjualan. Bahkan, tempat ini pernah menjadi tempat mangkal para waria.
Sebelum berkumpul di sekitar Jalan Nusantara dan Stadion Mattoanging, konon katanya Lapangan Karebosi lebih dulu ramai dipadati para waria pada tahun 1980-an.(3)
Asal Usul Nama Karebosi
Menurut sejarah, lapangan Karebosi yang dulunya merupakan alun-alun kerajaan Gowa-Tallo merupakan singkatan dari nama Karaeng Bunga Rosina (Karebosi). Ia adalah seorang gadis aristokrat dari keturunan Raja Tallo yang sangat cantik, pintar, bijak bertutur dan santun.
Karaeng Bunga Rosina ini dijuluki Raja Bunga Mawar Tallo. Penamaan Karebosi dari Karaeng Bunga Rosina ini disebut sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa dan kebijaksanaannya.(2)
![]() |
Sementara itu, Budayawan Universitas Hasanuddin Nurhayati Rahman, menjelaskan versi yang sedikit berbeda terkait penamaan Lapangan Karebosi. Konon, kata Karebosi muncul setelah kejadian hujan usai kemarau panjang.
Nurhayati menceritakan, saat Kerajaan Gowa-Tallo diguyur hujan, semua orang berteriak "Akkanre Bosia". Kanre artinya keras atau makan, sementara bosi berarti hujan.
"Penduduk berteriak semua, akkanre bosia, dari situmi kata-kata Karebosi. Akkanre bosia karena tidak mau berhenti, hujan terus. Sampai kilat bersahut-sahutan, guntur sebagainya," jelasnya.
Dalam sumber lain juga dijelaskan bahwa Karebosi berasal dari Kata Kanrobosi. Kanro artinya anugerah dari tuhan dan bosi adalah hujan. Ini juga berkaitan dengan Tujua makam di Karebosi itu yang lebih dikenal dengan sebutan Karaeng Angngerang Bosi yang artinya tuan yang membawa hujan.(3)
Revitalisasi Lapangan Karebosi
Lapangan Karebosi adalah area publik atau tempat berkegiatan, baik para penduduk Makassar maupun dari luar daerah. Dulu Lapangan Karebosi tampak alamiah dan biasa-biasa saja.
Kemudian di masa kepemimpinan Walikota Makassar tahun 2004-2009 Ilham Arief Sirajuddin, muncul ide untuk merevitalisasi Lapangan Karebosi. Pemkot Makassar saat ini membuat program pembangunan yang berkelanjutan, salah satu tujuannya adalah memacu kegiatan perekonomian.
Lapangan Karebosi kini menjadi kawasan pusat kota. Tempat ini diapit empat sisi jalan, masing-masing sebelah utara Jalan Ahmad Yani, sebelah barat Jalan Kajao Laliddo, sebelah selatan Jalan Kartini dan sebelah timur jalan Jenderal Sudirman.
Luas dari Lapangan Karebosi ini mencapai 12 hektar. Lapangan ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas di dalamnya, seperti taman, lapangan sepakbola, area olahraga dan pusat perbelanjaan.
7 makan yang kini menjadi legenda berjejeran tepat di tengah lapangan. Tidak hanya itu, di bawah tanah tepat bawah lapangan sepakbola terdapat Mall Karebosi Link.(4)
Dahulu, ide revitalisasi ini ditentang oleh sejumlah warga Makassar. Mereka bahkan melakukan aksi demo sebagai bentuk penolakan keras.
Menurut warga, revitalisasi lapangan Karebosi ini dapat menghilangkan tanda-tanda sejarah, utamanya bentuk tujuh makam itu.
"Makanya dulu waktu mau dijadikan mal di bawah tanah, ahli warisnya semua pada demo tidak setuju, karena berkaitan dengan sejarah, dengan Tujua, penamaan dan tentang nama Karebosi itu sendiri," kata Nurhayati.
Sumber:
1. Jurnal "Lapangan Karebosi Kota Makassar (1990-2017)" oleh Andrew Indrawan Aidina, Najamuddin dan La Malihu.
2. Skripsi "Tinjauan Hukum Alih Fungsi Lahan Ruang Terbuka Hijau Menjadi Lahan Komersil di Lapangan Karebosi Kota Makassar" oleh Saskia Nur Fiwisya.
3. Buku "Sejarah dan Budaya Lokal dari Sulawesi sampai Bima" oleh Nasruddin dkk.
4. Situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI 'Lapangan Karebosi'.
(urw/nvl)