Antropolog Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Yowan Tamu mengaku sangat sulit melakukan penelitian mendalam terhadap suku Polahi di Gorontalo. Termasuk untuk mengulik secara dalam tentang tradisi perkawinan sedarah yang dilakukan suku tersebut.
Suku Polahi merupakan suku terdalam asli dari Gorontalo yang tidak mengalami revolusi. Suku Polahi tinggal di gunung Boliyohuto sebagai masyarakat nomaden.
Masyarakat suku Polahi sangat tertutup dari dunia luar termasuk pendatang. Untuk mengunjungi masyarakat dari suku Polahi harus menggunakan pemandu yang sudah diterima oleh mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka (masyarakat suku Polahi) tidak serta merta menerima orang asing. Karena bagi mereka orang asing itu adalah orang yang membahayakan. Jadi kalau ingin menemui mereka kita harus menggunakan guide (pemandu) yang memang mereka kenal," jelas Yowan kepada detikSulsel, Jumat (26/8/2022).
Yowan mengatakan, pengetahuan tentang kehidupan masyarakat suku Polahi masih sangat terbatas. Karena masyarakat yang sangat tertutup sehingga penelitian mendalam masih sangat sulit dilakukan.
Sehingga menurutnya masih banyak misteri tentang suku Polahi termasuk tradisi perkawinan sedarah yang dilakukan mereka. Ia mengatakan tidak ada penelitian mendalam yang membuktikan semua tanda tanya tentang perkawinan sedarah tersebut.
"Ada sejumlah penelitian yang menyebutkan perkawinan incest (perkawinan sedarah), tetapi untuk detailnya itu belum ada," kata Yowan.
Penelitian Hanya Dilakukan pada Masyarakat Terluar
Yowan menjelaskan penelitian-penelitian tentang suku Polahi hanya dilakukan pada masyarakat terluar di kaki pegunungan. Sehingga tidak ada penelitian rinci pada masyarakat primitif di kelompok terdalam tentang pernikahan sedarah ini.
Diketahui, suku Polahi memiliki klaster masyarakat sesuai dengan wilayah tinggal. Semakin dalam wilayah mereka tingga di hutan maka semakin sedikit kelompok masyarakatnya serta semakin ekstrem menolak orang luar.
"Penelitian kita itu jarang tembus ke klaster atas. Sebenarnya saya juga mau meneliti itu (perkawinan sedarah) tapi memang aksesnya tuh susah," jelasnya.
Yowan menjelaskan suku Polahi terluar yang berada di kaki gunung sudah beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Salah satu tandanya, mereka sudah menggunakan pakaian yang layak dan memulai untuk berdagang.
"Jadi ada nama-namanya. Itu klasternya ada yang disebut sebagai kelompok 9, kelompok 18, kelompok 21, dan kelompok 70. Jadi kalau kelompok 9 itu mereka ada 9 orang di situ. Kelompok 18 mereka 18 keluarga. Kelompok 21 ada 21 keluarga. Jadi nama-nama kelompok gitu. Kalau itu yang diidentifikasi oleh Departemen Sosial Kabupaten Gorontalo ya," terangnya.
Yowan menjelaskan, kelompok yang mendiami wilayah gunung tertinggi merupakan kelompok dengan keadaan paling primitif dan jumlah kelompok paling kecil, yakni klaster 9. Kelompok tersebut sangat sulit untuk ditemui, sebab mereka menganggap orang asing bagai sesuatu yang membahayakan atau penjajah.
Simak di halaman selanjutnya soal keturunan perkawinan sedarah..
Keturunan Perkawinan Sedarah Polahi Jadi Tanda Tanya
Yowan mengatakan hal yang paling menjadi tanda tanya bagi peneliti dan akademisi seperti dirinya adalah mengungkap tentang keturunan hasil perkawinan sedarah suku Polahi. Pasalnya, berbeda dengan keilmuan medis, keturunan suku Polahi tidak ada mengalami cacat.
Hal ini bertentangan dengan keilmuan yang ada bahwa anak hasil hubungan sedarah akan memiliki keragaman genetik yang sangat minim dari DNA-nya. Kurangnya variasi dari DNA dapat meningkatkan peluang terjadinya penyakit genetik langka atau cacat.
"Yang unik adalah hasil keturunan mereka tidak ada yang cacat. Mereka normal normal saja. Tidak seperti yang biasa ada di negara-negara lain. Kalau nikah sedarah pasti cacat kan, kalau di Polahi itu tidak ada (yang cacat)," kata Yowan.
Menurutnya dari kacamata antropologi, bisa saja ada ritual khusus yang dilakukan masyarakat suku Polahi. Seperti mengonsumsi tumbuhan tertentu yang terdapat di dalam hutan.
Meski begitu, Yowan mengatakan belum ada yang bisa memecahkan misteri tersebut. Pasalnya belum ada peneliti yang mampu meneliti terkait keunikan tersebut secara keilmuan.
"Mungkin saja mereka memang ada ritual. Seperti mengonsumsi tumbuhan tertentu, kan mereka tinggal di jauh di dalam hutan, di gunung, jadi otomatis kan namanya di gunung pasti banyak tumbuhan-tumbuhan yang mungkin kita belum tau khasiatnya," jelas Yowan.
Simak Video "Video: Sakyoji dan Istri Bangga Anaknya Masuk Antropologi UI"
[Gambas:Video 20detik]
(alk/tau)