Indonesia memiliki beragam tradisi jelang Idul Fitri. Salah satunya, di Jawa dikenal tradisi nyekar atau ziarah kubur.
Nyekar berasal dari kata sekar yang artinya kembang atau bunga. Dikatakan dalam buku Dialektika Islam dan Budaya Nusantara oleh Prof Dr Suprapto, Mag, nyekar atau nyadran adalah kegiatan berdoa di makam agar arwah para leluhur memperoleh ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Nyekar tak sekadar ritual terkait keagamaan, melainkan juga memiliki dimensi sosial dan budaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Biandro Wisnuyana mengatakan nyekar mempunyai makna sakral dan profan.
Menurutnya, secara religius nyekar merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dengan cara berdoa dan memintakan ampunan untuk mereka. Sementara, dari perspektif antropologi simbolik, nyekar adalah lambang keterhubungan antargenerasi dalam masyarakat agraris yang menjunjung tinggi gotong royong serta kekeluargaan.
Pergeseran Tradisi Nyekar pada Generasi Muda
Biandro menyebut dalam dua dekade terakhir nyekar mengalami pergeseran, khususnya di kalangan generasi muda. Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup mendorong masyarakat memilih cara yang lebih praktis dalam melakukan nyekar.
Sekarang ini ada banyak orang mengirim doa melalui media sosial atau grup keluarga.
Nyekar pun tidak dilakukan secara ketat jelang lebaran. Pelaksanaannya lebih fleksibel menyesuaikan kesibukan setiap orang.
Selain itu urbanisasi turut menjadi faktor yang menyebabkan penurunan partisipasi generasi muda dalam nyekar. Sebab, keterbatasan waktu dan keterikatan emosional dengan tradisi ini berkurang.
Biandro menilai hal ini menunjukkan pergeseran tradisi dalam konteks kemajuan teknologi dan informasi.
"Generasi muda semakin jarang terlibat langsung dalam nyekar, baik karena kesibukan maupun karena keterikatan emosional yang semakin berkurang akibat urbanisasi," jelasnya, dikutip dari situs resmi Unair pada (28/3/2025).
Tantangan Tradisi Nyekar
Biandro menerangkan tantangan tradisi nyekar antara lain peningkatan urbanisasi yang membatasi akses ke makam, pergeseran perspektif keagamaan yang menganggap nyekar bukan kewajiban, dan kurangnya edukasi nilai budaya nyekar.
Peran keluarga dinilainya sangat penting untuk menjaga keberlanjutan tradisi ini. Ia menyarankan anak-anak diperkenalkan dengan tradisi ini sejak dini supaya mereka memahami makna dan nilai nyekar.
Di samping itu, pemanfaatan teknologi sebagai sarana edukasi dan dokumentasi bisa menjadi alternatif agar generasi muda tetap terhubung dengan tradisi tersebut, walaupun dalam bentuk yang lebih modern.
"Generasi muda kurang mendapatkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai budaya yang terkandung dalam nyekar. Kurangnya edukasi dan keterbatasan waktu membuat mereka semakin jauh dari tradisi ini," kata dia.
Biandro mengatakan peningkatan kesadaran budaya di sekolah dan komunitas melalui edukasi pentingnya nyekar dapat menjadi solusi agar tradisi ini terus relevan. Kemudian, penyediaan fasilitas refleksi di pemakaman atau tempat khusus di rumah untuk mengenang leluhur juga bisa agar tradisi ini tetap lestari.
(nah/nwy)