6 Hal Tentang Uang Panai Wanita Bugis Makassar, Beda dengan Mahar Nikah

6 Hal Tentang Uang Panai Wanita Bugis Makassar, Beda dengan Mahar Nikah

Al Khoriah Etiek Nugraha - detikSulsel
Sabtu, 04 Jun 2022 14:00 WIB
Foto wanita yang menerima uang panaik Rp500 juta,  satu unit rumah dan satu paket berlian.
Ilustrasi uang panai bagai masyarakat suku Bugis-Makassar. Foto: Dok. pribadi Beank.
Makassar -

Uang panai merupakan salah satu syarat pernikahan dalam tradisi suku Bugis-Makassar. Kedudukan uang panai berbeda dengan mahar pernikahan.

Uang panai dalam bahasa Makassar biasanya disebut doi panai, sementara dalam bahasa Bugis disebut doi menre. Dalam tradisi ini, keluarga pihak laki-laki harus menyediakan uang panai yang akan diberikan kepada keluarga pihak perempuan untuk digunakan membiayai pesta pernikahan.

Awalnya, uang panai bagi masyarakat suku Bugis-Makassar disesuaikan dengan strata sosial dari wanita. Namun, saat ini tidak sedikit masyarakat suku Bugis-Makassar latah dalam menetapkan standar uang panai dengan nilai yang tinggi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada asumsi yang berkembang bahwa semakin banyak uang panai, semakin diasumsikan status sosialnya lebih tinggi. Karena itulah jadi motivasi bagi beberapa keluarga untuk memasang target atau bernegosiasi agar uang panai-nya tinggi. Meskipun itu hal yang susah bagi mereka," ujar Pakar Budaya dari Universitas Negeri Makassar (UNM) Prof Darman Manda kepada detikSulsel, Jumat (3/5/2022).

Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang uang panai dalam tradisi pernikahan suku Bugis-Makassar seperti dirangkum detikSulsel:

ADVERTISEMENT

1. Uang Panai Lambang Status Sosial

Prof Darman Manda mengatakan filosofi dari uang panai dalam budaya suku Bugis-Makassar adalah melambangkan status sosial. Maka semakin tinggi nilai dari uang panai menandakan semakin tinggi status sosial dari calon pengantin.

"Bahwa semakin tinggi uang panainya diasumsikan secara filosofi derajat atau status sosialnya tinggi," ujar Prof Darman Manda.

Begitu pula sebaliknya jika memiliki status sosial rendah maka uang panai-nya juga memiliki nilai yang lebih rendah. Status sosial wanita ini dilihat dari segi ekonomi, keturunan bangsawan, pejabat, atau memiliki pendidikan yang tinggi.

Oleh karena itu nilai uang panai juga menjadi wajah dari strata sosial pihak wanita.

2. Uang Panai Berbeda dengan Mahar

Penting untuk diketahu bahwa uang panai pada dasarnya memiliki kedudukan berbeda dengan mahar. Prof Darman menjelaskan bahwa uang panai adalah syarat pernikahan yang berada dalam konteks adat. Sementara uang mahar berada dalam konteks agama, khususnya Islam.

Sehingga dalam agama uang panai bukanlah sesuatu yang wajib diadakan. Tetapi dalam adat suku Bugis-Makassar hal ini menjadi wajib karena merupakan tradisi turun temurun.

"Mahar itu syarat agama, itu kewajiban bagi orang Islam. Uang panai itu adalah budaya, jadi beda. Uang panai adalah budaya yang diciptakan oleh manusia, masyarakat Bugis," jelasnya.

Selain itu, meskipun sama-sama diberikan oleh calon pengantin pria kepada calon istrinya, panai dan mahar memiliki tujuan penggunaan yang berbeda. Uang panai digunakan untuk membiayai segala kebutuhan pernikahan di pihak perempuan. Sementara mahar merupakan pemberian calon pengantin pria yang nantinya mutlak milik sang wanita ketika sah menjadi istri.

3. Nominal Uang Panai Sebaiknya Tidak Diumbar

Belakangan nilai uang panai menjadi ajang pamer di masyarakat Bugis-Makassar. Nilai yang fantastis tentunya akan mengundang perhatian. Namun menurut Prof Darman Manda seharusnya nilai uang panai tidak diumbar, karena menjadi simbol harga diri bagi calon mempelai wanita.

"Semestinya tidak bisa diumbar. Tapi masyarakat juga mau dibilang, jadi dia umbar. Saya lebih cenderung untuk dirahasiakan, karena itu adalah internal dan persoalan harga diri," jelasnya.

Sementara untuk benar dan salahnya nilai uang panai diumbar, Prof Darman mengatakan itu tergantung masing-masing persepsi keluarga. Karena dalam acara Mappettuada ada keluarga yang memilih untuk mengumumkannya kepada keluarga besar. Sehingga kabar nilai uang panai dapat tersebar.

Sementara menurutnya, ada pula keluarga yang memilih untuk merahasiakannya. Hanya keluarga internal yang mengetahuinya.

"Ada pihak keluarga yang mengumumkan di acara Mappettuada, tapi ada juga keluarga menganggap itu harus dirahasiakan," imbuhnya.

4. Uang Panai Simbol Keuletan-Kerja Keras Laki-laki

Budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Burhan Kadir M.A mengatakan nilai uang panai menjadi simbol keuletan dan kerja keras laki-laki untuk meminang seorang wanita Bugis-Makassar. Juga menjadi wajah status sosial keluarga wanita juga laki-laki.

"Ada keuletan, ada kerja keras hingga panai itu tercapai, dan tentunya di situ pula ada wajah keluarga pihak laki-laki dan wajah keluarga pihak perempuan," jelas Burhan kepada detikSulsel pada Selasa (31/5).

Hal ini karena si laki-laki berjuang untuk memenuhi syarat agar dapat meminang wanita pujaannya. Serta bisa memberikan uang belanja untuk kebutuhan pesta pernikahan yang sesuai.

"Dalam tradisi perkawinan Bugis-Makassar pihak laki-laki yang menanggung pesta pihak perempuan inilah kemudian yang berwujud uang panai," kata Burhan.

5. Uang Panai Ditentukan dari Kesepakatan Kedua Keluarga

Burhan menjelaskan bahwa besaran uang panai merupakan hasil kesepakatan dari keluarga perempuan dan laki-laki. Ada tawar menawar di dalamnya, hingga mencapai kesepakatan.

"Tetap ada tawar menawar. Bahkan biasanya pihak laki-laki akan melakukan beberapa pendekatan ke keluarga pihak perempuan untuk mengurangi nilai nominalnya," jelas Burhan.

Tawar menawar uang panai ini biasanya dilakukan pada tradisi Mammanu-manu atau Mappetuada. Namun, jika nominal uang panai tidak mencapai kata sepakat maka pernikahan bisa saja batal.

"Proses pernikahan tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak menemukan kesepakatan dari kedua bela pihak tentang jumlah uang panai. Bahkan jika tidak menemukan titik temu maka banyak pernikahan berujung batal," imbuh Burhan.

6. Asal-usul Uang Panai Hanya untuk Gadis Keturunan Bangsawan

Burhan mengatakan, dalam sejarahnya uang panai awalnya hanya diberikan kepada wanita keturunan bangsawan. Namun seiring perkembangan zaman, saat ini uang panai berlaku bagi seluruh wanita suku Bugis-Makassar.

"Dulu uang panai hanya diberikan pada laki-laki yang meminang perempuan bangsawan atau berdarah biru," ujarnya.

Burhan mengatakan uang panai ini berawal dari kebiasaan masyarakat suku Bugis-Makassar terdahulu. Dimana uang panai sebagai penghormatan kepada seorang perempuan yang akan dipersunting.

"Bahkan uang panai dahulu diartikan sebagai pembeli darah atau memberikan penghargaan kepada pihak perempuan dari keturunan bangsawan," jelasnya.

Namun, berbeda dengan saat ini dimana panai dinilai dengan uang, pada zaman dulu panai diberikan dalam bentuk daerah kekuasaan atau memberikan gelar tertentu.

"Sejak masa kerajaan Bugis-Makassar panai dalam perkawinan bangsawan raja-raja itu selalu ada, hanya saja dalam bentuk memberi kekuasaan daerah tertentu atau memberikan gelaran tertentu," imbuhnya.


Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Hide Ads