Uang panai merupakan sejumlah uang yang harus diberikan oleh laki-laki yang mempersunting wanita dari suku Bugis-Makassar. Jumlah fantastis uang panai dalam pernikahan adat suku Bugis-Makassar seringkali mengundang perhatian khalayak.
Belum lama ini pernikahan dengan uang panai fantastis kembali heboh di media sosial. Gadis Bugis asal Kabupaten Pinrang dr Fitrianisa Burmana dilamar oleh pujaan hatinya Andi Bastian Basri dengan panai hingga Rp 5 miliar dan mendatangkan 7 artis ibukota dalam resepsi pernikahan.
Kewajiban uang panai dalam adat pernikahan suku Bugis-Makassar masih menimbulkan pertanyaan bagi sejumlah kalangan, mengapa pihak laki-laki harus membayarkan uang panai ketika melamar wanita Bugis-Makassar?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uang panai yang dalam bahasa Makassar biasa disebut doi panai, atau dalam bahasa Bugis disebut doi menre merupakan sejumlah uang yang harus dipersiapkan pihak laki-laki ketika hendak melamar perempuan Bugis. Besaran uang panai yang harus dikeluarkan oleh pihak laki-laki ditentukan berdasarkan kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak.
Budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Dr. Firman Saleh menjelaskan, uang panai merupakan bagian dalam pernikahan adat Bugis Makassar. Laki-laki membayarkan uang panai sebagai pemenuhan kebutuhan biaya melangsungkan resepsi pesta ada pernikahan di pihak perempuan.
"Jadi seperti biasanya, dalam adat masyarakat Bugis-Makassar itu kan untuk pemenuhan kebutuhan pada saat melakukan pesta adat perkawinan. Laki-laki bukan diberikan beban, bukan juga diwajibkan, tapi seperti itulah adat Bugis-Makassar, bahwa untuk penyelenggaraan pesta itu, laki-laki lah yang memberikan kepada pihak perempuan untuk digunakan dalam melangsungkan pesta itu," ujarnya saat dihubungi detikSulsel, Senin (1/7/2022).
Firman menambahkan, kewajiban menyiapkan uang panai bagi pihak laki-laki dimaksudkan agar pihak perempuan dapat menggunakan uang tersebut untuk mempersiapkan pesta penyambutan yang layak bagi keluarga pihak laki-laki yang datang. Lantas mengapa pihak laki-laki harus membayarkan uang panai? Firman menjelaskan laki-laki dalam adat Bugis-Makassar memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan itu.
"Kenapa (laki-laki yang siapkan)? Karena biasanya, laki-laki punya kemampuan. Perempuan untuk menyambut keluarga, untuk menyambut mempelai laki-laki itu kan pasti butuh makanan, butuh banyak hal. Nah, yang memenuhi itu laki-laki," ujarnya.
Dirinya kembali menekankan bahwa uang panai pada adat pernikahan Bugis-Makassar bukan untuk menyulitkan laki-laki. Karena pada dasarnya uang panai harus sesuai dengan esensi nya, yaitu cukup untuk memenuhi biaya pesta adat yang diselenggarakan pihak perempuan.
"Dalam tradisi Bugis-Makassar itu ada istilah begini, dalam bahasa bugis 'mega cappu to, cedde cappu to', artinya 'banyak pun pasti habis, sedikit pun juga cukup'. Itu tidak diharuskan sampai berapa banyak, yang penting cukup," jelas Firman.
Terkait nominal uang panai yang fantastis, Firman mengatakan dalam tradisi biasanya digunakan sebagai bentuk penolakan secara halus. Biasanya, pihak perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan atau memiliki ekonomi lebih tinggi akan mematok nominal yang tinggi agar pihak laki-laki tidak bisa dipenuhi oleh pihak laki-laki.
"Saya sudah jelaskan masalah tradisinya, bahwa itu salah satu bentuk penolakan sebenarnya. Karena yang dipinang ini bahasa halus nya tidak selevel, ada yang kalangan orang bangsawan, atau ekonominya lebih tinggi, kemudian dipatoklah sebanyak yang kira-kira dia tidak bisa jangkau," terangnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Firman melanjutkan, di sisi lain ada faktor gengsi dari pihak laki-laki. Sehingga pihak laki-laki akan berusaha menyanggupi sebesar apapun nominal yang dipatok.
"Karena faktor siri tadi itu, harga diri, sehingga kadang sebanyak apapun, itu disanggupi, sehingga menjadi viral lah," kata Firman.
Padahal menurut Firman, uang panai tidak seharusnya memberatkan dan melebihi batas kemampuan pihak laki-laki. Pihak perempuan juga sebaiknya meminta dalam jumlah yang wajar untuk mencukupi kebutuhan penyelenggaraan pesta adat.
"Menikah itu adalah ibadah, yang wajib itu adalah mahar. Mintalah (uang panai) sewajarnya. Maksudnya, uang untuk belanja itu yang sewajarnya lah," ucapnya.
Ia juga menambahkan, uang panai juga bukan ajang menunjukkan gengsi dan membuat orang lain terkesan. Sehingga kedua pihak yang ingin melangsungkan pernikahan sebaiknya bisa saling memahami.
"Ini bukan ajang untuk menunjukkan gengsi, menunjukkan materi untuk orang lain. Karena itu sifatnya hanya sementara, jadi intinya harus saling pengertian, kemudian sewajarnya," ujarnya.
Meski begitu, Firman mengatakan nominal uang panai yang tinggi juga dipengaruhi strata pihak perempuan. Untuk itu, menurutnya ketentuan uang panai harus disesuaikan dengan kemampuan dari pihak laki-laki dan sesuai kepantasan pihak perempuan.
"Sesuai kemampuan dan kepantasan. Jadi mungkin laki-laki memberikan karena perempuannya pantas, dan laki-lakinya mampu. Yang keliru itu, laki-lakinya tidak mampu, perempuannya tidak pantas, dan dimintai yang jumlahnya fantastis, itu yang keluar dari norma sebenarnya, bahwa uang panai tidak seperti itu. Jadi, yang sewajarnya lah, yang sepantasnya," ujarnya.
Selanjutnya tentang patungan uang panai...
Patungan Uang Panai
Firman juga turut berkomentar mengenai sejumlah pasangan yang melakukan patungan untuk mendapatkan nominal uang panai yang tinggi. Menurutnya, hal tersebut tidak perlu dilakukan karena merupakan bentuk pembohongan publik.
"Kalau menurut saya, tidak perlu dilakukan yang seperti itu. Kenapa? Itu namanya pembohongan publik, hanya untuk dinilai atau dilihat dibawakan sebanyak itu, padahal tidak," ujarnya.
Namun, menurut Firman patungan untuk kebutuhan pernikahan boleh-boleh saja dilakukan jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Artinya, untuk kebutuhan pernikahan bisa saja dilakukan patungan namun hal itu tidak masuk sebagai uang panai yang sejatinya diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
"Kecuali begini ya, ada istilahnya kan kesepakatan. Misalnya, saya laki-laki sepakat dengan perempuan, terus dia bilang begini, saya punya tabungan segini, nah kalau misalnya tidak cukup pakai saja yang saya punya itu," kata Firman.
Menurutnya, patungan untuk membiayai pesta adat pernikahan juga merupakan bagian dari tradisi menjaga siri atau harga diri, baik bagi pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Ia juga menegaskan bahwa patungan uang panai ini harus didasarkan atas kesepakatan, tanpa paksaan dari pihak mana pun.
"Ini kan kembali lagi ke harga diri sih. Maksudnya, supaya pihak perempuannya juga tidak malu, dan jangan sampai gara-gara faktor itu juga tidak jadi, sehingga dilakukan seperti itu," ujarnya.
"Tapi lagi-lagi ya, karena kesepakatan, bukan karena paksaan," tambahnya.

Koleksi Pilihan
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel