Temuan sertifikat hak milik (SHM) di kawasan ekosistem mangrove Bonto Bahari, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel), seluas 0,8 hektare ternyata memicu polemik. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel menyebut area itu masuk kawasan laut, namun Badan Pertanahan Nasional (BPN) Maros justru membantahnya.
Area yang dimaksud tepatnya berlokasi di Desa Bonto Bahari, Kecamatan Bontoa, Maros. DKP Sulsel mengatakan SHM di kawasan laut wilayah itu diterbitkan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
"Statusnya di bidang tanah di situ (Bonto Bahari) sudah ada sertifikat hak milik dengan luasan kurang lebih 0,8 (hektare)," ungkap Kepala DKP Sulsel, M Ilyas kepada wartawan, Kamis (30/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berharap segala aktivitas di area tersebut untuk dihentikan sementara sembari proses verifikasi dilakukan. Pihaknya khawatir penerbitan SHM di atas laut mengancam ekosistem mangrove.
"Kita lihat itu sudah setengahnya, mangrovenya tinggal 50 persen. Harus disetoplah dulu yang melakukan ini, karena ini kita akan selidiki kenapa bisa terjadi di laut itu bisa terjadi sertifikat hak milik," jelas Ilyas.
DKP Sulsel Heran SHM di Laut Terbit
Temuan kepemilikan SHM di kawasan mangrove sempat dibahas DKP Sulsel dalam rapat bersama instansi terkait pada Kamis (30/1). Penerbitan SHM ditemukan setelah DKP Sulsel mencocokkan data miliknya dengan data di Kementerian ATR/BPN.
"Diterbitkan ATR dalam bentuk sertifikat hak milik. Nah ini akan kita tindaklanjuti, kenapa bisa dan yang paling menarik itu kan mangrove," beber Ilyas.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), kawasan yang bersertifikat SHM itu dinilai masuk kawasan laut. Area itu pun seharusnya justru dijaga karena masuk ekosistem mangrove.
"Kita overlay dengan kita punya RTRWP ya, RTRWP ternyata itu masuk di wilayah laut sertifikat itu dan di situ ada mangrove di atasnya," tuturnya.
DKP Sulsel menegaskan wilayah laut tidak bisa dijadikan subjek sertifikat tanah. Kawasan itu seharusnya tidak menjadi milik warga perseorangan.
"Itu wilayah laut dan pertumbuhan mangrove itu kan secara alami, ketika sudah ada mangrove akan tumbuh subur ke depan itu. Jadi ini dari peta RTRWP kita sudah jelas, bahwa ini adalah wilayah," tegas Ilyas.
DKP Sulsel akan menyurati BPN Maros untuk melakukan klarifikasi terkait kejanggalan penerbitan SHM di area itu. Pihaknya bahkan menyinggung perkara ini bisa dibawa ke ranah hukum jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran.
"Kita akan tindak lanjuti ke ATR/BPN Maros mempertanyakan dan mungkin kita akan tindaklanjuti ke pihak yang berwajib untuk menanyakan bagaimana untuk memverifikasi ini," imbuhnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
BPN Maros Tegaskan Bukan Area Laut
Kepala Kantor BPN Maros Murad Abdullah mengakui adanya penerbitan SHM di kawasan mangrove wilayah Bonto Bahari. Namun dia menegaskan penerbitan sertifikat itu tidak masuk dalam kawasan laut sebagaimana pernyataan DKP Sulsel.
"Apa yang disampaikan dari DKP itu mengatakan bahwa ada sertifikat di laut, itu setelah kami cek di sistem kami ternyata sebidang tanah yang dimaksud itu ada di kawasan mangrove, berarti tidak berada di laut," kata Murad kepada wartawan, Senin (3/2).
Murad tidak menyebut warga yang mengantongi SHM di area seluas 0,8 hektare di Bonto Bahari. Dia menegaskan SHM itu dikeluarkan sebelum adanya Peraturan Daerah (Perda) Maros Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
"Sertifikat itu terbit pada tahun 2008, di mana belum berlaku Perda Nomor 4 Tahun 2012. Sekali lagi kami sampaikan bahwa sertifikat hak milik itu tidak berada di atas laut, tetapi di kawasan mangrove," tegasnya.
Penerbitan SHM di kawasan itu juga terdata dalam aplikasi 'Sentuh Tanahku' milik Kementerian ATR/BPN. Dengan begitu, dia mengklaim penerbitan SHM tersebut sudah sesuai dengan prosedur.
"Ini dari aplikasi kami di Sentuh Tanahku menunjukkan bahwa sertifikat hak milik (nomor) 473 tidak berada di atas laut, tapi di kawasan mangrove dengan luasnya kurang 0,8 hektare," sambung Murad.
Dia lantas menyinggung kawasan sebidang tanah yang dipertanyakan oleh DKP Sulsel itu berada di sekitar kawasan Dermaga Sabang. Murad menyebut DKP Sulsel sempat mengajukan permohonan mengubah status Dermaga Sabang namun tidak diproses BPN Maros.
"Yang saya tahu dermaga itu sekarang lagi DKP Provinsi menurunkan haknya untuk melakukan hak pakai dan sampai saat ini dermaga belum kami proses karena persyaratan izin reklamasi belum disampaikan ke kami," pungkasnya.
Simak Video "Video: Respons Pihak Mimi Jamilah Seusai Menteri Nusron Bela Warga Cluster Tambun"
[Gambas:Video 20detik]
(sar/sar)