DPRD Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengusulkan agar tambahan penghasilan pegawai (TPP) ASN ditunda pembayarannya gegara realisasi APBD tahun 2023 baru mencapai 47,51%. Usulan penundaan TPP ASN tersebut diberlakukan di 11 SKPD Pemkot Makassar.
Berdasarkan data Bappeda Makassar per tanggal 30 September 2023, dana yang tersisa sebanyak Rp 2,762 triliun dari total pagu anggaran Rp 5,262 triliun. Akibatnya, 11 SKPD itu masuk kategori rapor merah lantaran realisasi anggaran masih di bawah 40%.
"Ya, pasti TPP di-pending dong, masa kegiatannya tidak jalan, TPP-nya berjalan. Kedua, evaluasi juga kinerja dari SKPD terkait tersebut," ujar Wakil Ketua DPRD Makassar Adi Rasyid Ali alias ARA kepada detikSulsel, Sabtu (21/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ARA mengatakan perkara ini tak boleh dibiarkan begitu saja apalagi telah mendekati akhir tahun. Dia pun turut mendesak agar Wali Kota Makassar Moh Ramdhan 'Danny' Pomanto untuk mengevaluasi kinerja bawahannya.
"Kami minta ini pemerintah dalam hal ini, wali kota itu harus melakukan evaluasi kinerja terhadap SKPD tersebut," katanya.
Lebih jauh, Legislator Fraksi Demokrat ini bahkan meminta agar pejabat yang tidak bagus kerjanya untuk dimutasi. Sebab, menurutnya, persoalan APBD yang rendah ini perlu diusut hingga ke akar-akarnya.
"Ya, harus dievaluasi, ini kan kalau mau, diganti kepala dinasnya lah, cepat realisasinya biasanya. Tapi kan harus ditanya ke dinasnya, kenapa serapan anggaran rendah? Kenapa dia tidak mau jalankan?" tegasnya.
Meski begitu, ARA tak menampik penyebab realisasi anggaran yang rendah dari SKPD tersebut perlu penjelasan lebih lanjut. Sehingga pangkal dari persoalannya dapat diketahui dan diatasi hingga akhir tahun nanti.
"Perlu ditanya, jangan sampai ada masalah lain gitu. Coba kan ada ketakutan membelanjakan programnya, ada tekanan mungkin, itu bisa ditanyakan sama SKPD tersebut," beber ARA.
SKPD Takut Belanjakan Anggaran
ARA juga menilai rendahnya realisasi anggaran di 11 SKPD Pemkot Makassar disebabkan oleh hal lain. Dia menduga situasi ini terjadi lantaran perangkat daerah punya ketakutan dalam membelanjakan anggaran.
"Karena pertama perencanaan, kedua karena ketakutan untuk membelanjakan kan bisa juga," katanya.
Dia juga menyinggung soal perencanaan yang kurang matang dari SKPD tersebut. Sehingga mempengaruhi realisasi anggaran dan akhirnya tak mencapai 50% padahal telah menjelang akhir tahun.
"Inilah yang saya katakan, serapan anggaran itu yang rendah 11 SKPD banyak, pertama soal perencanaan yang kurang matang. Kedua mungkin ada faktor X ya, yang tekanan, kegiatan-kegiatan membuat serapan anggaran tidak bisa berjalan," ungkapnya.
ARA lantas mengungkap dugaan lain atas situasi yang menyebabkan 11 SKPD itu masuk kategori rapor merah. Menurutnya, bisa saja ada regulasi yang menghambat ketika serapan anggaran hendak dilakukan.
"Yang ketiga mungkin ada aturan-aturan yang tidak bisa dijalankan, ketika dia mau melakukan serapan anggaran itu," tukas ARA.
(hsr/hsr)