Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Selatan (Sulsel) membolehkan politisi untuk kampanye di kampus dengan catatan tidak membawa atribut partai politik (parpol). Hal ini disebut telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kan itu sudah ada putusan MK-nya. Jadi kampus bisa mengundang peserta pemilu menyampaikan visi misinya. Cuma kan tidak bisa membawa atribut (parpol) dan lain-lain," kata Ketua KPU Sulsel Hasbullah saat dihubungi detikSulsel, Rabu (30/8/2023).
Hasbullah menuturkan seluruh pihak di perguruan tinggi dibolehkan mengundang politisi untuk tampil. Termasuk kelompok mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi teman-teman kampus, atas nama perguruan tinggi, atau teman-teman mahasiswa selaku insan akademis yang mengundang," ucapnya.
Menurutnya, keputusan MK itu secara prinsipil cukup bagus. Sebab, bagi Hasbullah, gagasan politisi itu akan dikaji dari sudut pandang akademis di wilayah kampus.
"Tapi pada prinsipnya itu baik. Karena ada ruang bagi teman-teman peserta pemilu untuk menyampaikan gagasannya secara akademik di kampus," paparnya.
Di sisi lain, Hasbullah tak menampik adanya perdebatan terkait putusan MK yang membolehkan kampanye di institusi pendidikan. Namun sebagai penyelenggara, dia hanya mengikuti aturan yang berlaku.
"Yang jadi perdebatan itu untuk di sekolah. Kalau institusi perguruan tinggi, dengan (adanya) putusan MK. Kita sebagai penyelenggara, kita tidak menyoal putusan MK, kita harus melaksanakan," tuturnya.
"Kalau teman-teman perguruan tinggi mau memanggil parpol untuk sosialisasi, apa diferensiasinya dengan parta lain. Itu sah-sah saja berdasarkan keputusan MK," sambung Hasbullah.
Lebih jauh ia mengatakan saat ini aturan teknis terkait adu gagasan politisi di lingkungan kampus belum diterbitkan. Hasbullah menyebut masih menunggu peraturan KPU soal kampanye di universitas.
"Nah, petunjuk teknis terkait hal itu yang kita tunggu. Kan aturan terkait kampanye sudah keluar, yakni PKPU nomor 15. Tapi itu belum memuat keputusan yang dibuat oleh MK (soal sosialisasi di kampus)," terangnya.
Sementara itu, Hasbullah juga mengatakan unjuk gigi para politisi di kampus bukan wewenang KPU. Sehingga, KPU tidak perlu menerima laporan dari universitas terkait.
"Tidak ada. Cuma kami sebagai penyelenggara, kalau umpama terkait dengan calon presiden kita belum bisa ikut serta dalam proses itu. Kan mereka kan masih bakal calon, belum calon," bebernya.
"Kan ada waktu kampanye yang sudah ada dalam tahapan pemilu. Itu khusus untuk calon. Sekarang kalau teman-teman mau panggil dalam statusnya sebagai bakal calon, itu bukan kewenangan kami," pungkasnya.
Untuk diketahui, MK mengetok putusan larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan kampanye di sekolah dan kampus meski dengan catatan. Putusan MK itu bernomor Nomor 65/PUU-XXI/2023 dan diketok pada 15 Agustus 2023 lalu. MK mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h.
Penggugatnya adalah Ong Yenni dan Handrey Mantiri. Berikut adalah pasal yang dimaksud.
Pasal 280 ayat 1 huruf h (sebelum putusan MK):
Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Adapun bunyi Penjelasan yaitu:
Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
MK mengetok palu putusan. MK hanya melarang secara total kampanye di tempat ibadah namun tetap memperbolehkan kampanye di tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah. Lewat putusannya, MK menghapus bagian penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Pasal itu sendiri juga direvisi menjadi begini:
Pasal 280 ayat 1 huruf h (setelah putusan MK):
Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
(sar/ata)