Rasa sakit merupakan salah satu bentuk respon otak jika tubuh dalam keadaan bahaya atau terjadi kerusakan yang diakibatkan oleh rangsangan dari luar. Rasa sakit yang dialami oleh manusia itu subjektif dan sulit untuk diukur.
Dilansir dari detikEdu, penyebab rasa sakit yang dialami seseorang berbeda-beda. Ada dua faktor utama yang diperhitungkan terkait rasa sakit yang dialami, yakni ambang rasa sakit dan toleransi rasa sakit.
Ambang rasa sakit adalah titik ketika seseorang pertama kali mulai merasakan sakit setelah terkena rangsangan, contohnya tertusuk jarum. Sedangkan toleransi rasa sakit adalah kemampuan seseorang dalam menahan sejumlah rasa sakit yang mendera tanpa pingsan karena kesakitan, sebagaimana dikutip dari Science Alert.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Umumnya, perempuan dianggap lebih mampu dan lebih baik dalam mentolerir rasa sakit yang dialaminya. Anggapan ini muncul berkat sejarah evolusioner yang telah berulang kali mengalami kesulitan saat melahirkan dibanding laki-laki.
Lalu, bagaimana menurut penjelasan studi yang pernah dilakukan? Benarkah perempuan lebih bisa menerima rasa sakit dibanding laki-laki?
Studi Terkait Rasa Sakit pada Perempuan dan Laki-laki
Pada tahun 2009, tim peneliti dari University of Florida melakukan tinjauan literatur besar-besaran mengenai studi penelitian terkait rasa sakit. Para penelitian menemukan fakta bahwa perempuan memiliki kepekaan yang lebih besar terhadap sebagian besar bentuk rasa sakit.
Peneliti juga menemukan bahwa perempuan mengalami lebih banyak rasa sakit secara umum. Fakta ini dibuktikan dari data yang menunjukkan banyaknya perempuan yang pergi ke dokter dengan masalah yang berhubungan dengan rasa sakit daripada laki-laki.
Pada tahun 2012, tim peneliti dari Universitas Stanford di AS menyelesaikan peninjauan lebih dari 11.000 catatan medis. Hasil peninjauan itu menunjukkan bahwa perempuan cenderung merasakan nyeri yang lebih intens, terutama saat terjadi peradangan akut.
Rata-rata peringkat nyeri perempuan hampir satu poin lebih tinggi daripada laki-laki. Peringkat ini diukir dengan skala peringkat nyeri nol hingga 10.
Dari temuan dari dua studi tersebut, para peneliti kemudian melakukan analisa berdasarkan data yang ada. Namun, analisa yang dilakukan belum sepenuhnya bisa menyimpulkan tentang siapa di antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis lebih kuat menahan rasa sakit.
Faktor Fisik maupun Psikologis
Berkaitan dengan hal tersebut, para peneliti juga menjelaskan, banyak faktor yang dapat berkontribusi pada bagaimana rasa sakit dirasakan oleh perempuan versus laki-laki. Faktor tersebut bisa dipengaruhi secara fisik maupun psikologis.
Dalam sudut pandang biologis, temuan ini dapat dijelaskan dari adanya perbedaan fungsi sistem nyeri antara perempuan dan laki-laki. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam studi yang dilaporkan oleh Riverside Pain Physicians.
Studi tersebut menunjukkan bahwa tubuh perempuan memiliki respons alami yang lebih intens terhadap rangsangan yang menyakitkan. Perempuan memiliki kepadatan saraf yang lebih besar sehingga mereka bisa merasakan sakit lebih intens daripada laki-laki.
Selain itu, hormon wanita memiliki sifat yang fluktuatif yang dapat memperkuat persepsi tubuh tentang rasa sakit. Contohnya, ketika kadar estrogen rendah selama siklus menstruasi atau setelah menopause, aktivitas reseptor rasa sakit meningkat sehingga menyebabkan tubuh merasa lebih sakit.
Perempuan juga memiliki risiko lebih besar pada kondisi penyebab nyeri kronis, terutama selama masa reproduksi mereka. Karena itulah perempuan cenderung lebih sering melaporkan nyeri dibandingkan laki-laki.
Sedangkan, jika ditinjau dari sudut pandang psikologis, diketahui perempuan dan laki-laki 'terhubung' secara berbeda. Hal ini secara langsung berkontribusi pada persepsi besar atau kecilnya rasa sakit.
Kondisi seperti kecemasan dan depresi yang dilaporkan juga didapati lebih banyak terjadi pada perempuan. Hal ini dapat memperburuk efek dari kondisi yang menyakitkan, bahkan jika rasa sakit itu sendiri tidak benar-benar meningkat.
Hasil Penelitian Terkait Rasa Sakit Bervariasi
Jennifer Graham, profesor kesehatan biobehavioral di Penn State University, Amerika Serikat, mengatakan, hasil penelitian tentang respons nyeri bervariasi.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki memiliki ambang rasa sakit yang lebih tinggi daripada perempuan, kemudian beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan laki-laki juga memiliki toleransi rasa sakit yang lebih tinggi.
"Cara berpikir lain tentang hasil ini adalah bahwa wanita lebih sensitif terhadap rasa sakit," ucap Graham dikutip dari laman resmi Penn State.
Graham menjelaskan, terdapat sejumlah penjelasan untuk variabilitas. Salah satu contohnya respons perempuan terhadap rasa sakit yang dipengaruhi oleh hormon, khususnya dalam siklus menstruasi ketika rangsangan nyeri dimulai. Kendati demikian, tidak tidak ada kesepakatan tentang bagaimana tepatnya siklus menstruasi memengaruhi respon nyeri.
"Beberapa penelitian melaporkan bahwa perempuan menunjukkan lebih banyak sensitivitas selama fase pramenstruasi, sementara yang lain melaporkan sensitivitas yang lebih besar pada ovulasi, dan yang lainnya, setelah menstruasi," catat Graham.
"Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan berdasarkan siklus menstruasi," tambahnya.
Graham menilai, toleransi rasa sakit yang berkaitan dengan gender menyebabkan munculnya berbagai persepsi yang dibenarkan sepihak. Hal tersebut menunjukkan bahwa penelitian terkait rasa sakit merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan bergantung pada variabel yang dipilih.
Situasi demikian menyebabkan sulitnya menentukan berapa banyak rasa sakit yang bersifat sensorik dan seberapa banyak dipengaruhi oleh faktor psikologis.
"Sistem limbik otak, yang berhubungan dengan emosi, biasanya aktif sebagai respons terhadap rasa sakit fisik baik untuk laki-laki maupun perempuan. Faktanya, dengan melihat MRI fungsional, sulit untuk membedakan rasa sakit psikologis, seperti yang disebabkan oleh pengucilan sosial dari rasa sakit yang murni bersifat fisik," terang Graham.
Dia berpendapat, pengaruh sosiokultural dan psikologis memiliki dampak yang lebih besar daripada faktor biologis.
"Rasa sakit menyalakan saraf dan otak kita dengan cara yang lebih mirip daripada berbeda. Secara keseluruhan, saya pikir penting untuk mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan merespons rasa sakit pada tingkat biologis yang sama," pungkasnya.
(urw/alk)